JAKARTA-MARITIM: Sektor kelapa sawit merupakan salah satu sektor industri yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Untuk itu, Kemnaker terus mengupayakan terwujudnya hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan di sektor kelapa sawit guna meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja di sektor tersebut.
“Ini dikarenakan sektor kelapa sawit banyak menyerap tenaga kerja dengan mayoritas tingkat pendidikan yang rendah,” kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI-Jamsos) Kemnaker Indah Anggoro Putri saat memberikan arahan secara virtual pada Dialog Undang-Undang Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan Bidang Persyaratan Kerja Pada Sektor Sawit di Jakarta, Selasa (14/9/2021).
Mengutip data Kementerian Pertanian tahun 2019, Dirjen Putri menyebutkan, jumlah petani kelapa sawit sebanyak 2,67 juta orang dan jumlah tenaga kerja sebanyak 4,42 juta pekerja. Jumlah tersebut terdiri dari 4 juta atau 90,68 persen pekerja kelapa sawit besar swasta nasional, 321 ribu atau 7,26 persen pekerja kelapa sawit besar milik negara, dan 91 ribu atau 2,07 persen pekerja kelapa sawit besar milik swasta asing.
Menurut Putri, hubungan kerja pekerja/buruh sektor perkebunan sawit sebagian besar dilakukan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), termasuk di dalamnya pekerja harian.
“Ini berdampak pada perlindungan dan syarat kerja tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja, Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja,” ucapnya.
Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) pada November 2020, total luas area kelapa sawit di Indonesia mencapai 14,6 juta hektar. Dari luasan tersebut, Perkebunan Besar Negara (PBN) hanya memiliki sebagian kecil yaitu 614.756 hektar atau 4,29 persen; sementara sebagian besar diusahakan oleh Perusahaan Besar Swasta (PBS) yaitu sebesar 55,09 persen atau seluas 7.892.706 hektar. Sehingga sebagian besar produksi minyak sawit Indonesia dihasilkan oleh PBS.
“Oleh karena itu, sektor kelapa sawit menjadi salah satu isu hubungan industrial yang perlu diperhatikan, khususnya mengenai perlindungan tenaga kerjanya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Indah Anggoro Putri menyatakan, pemerintah berkepentingan agar produk-produk hasil industri dapat diterima secara kompetitif di pasar global. Dalam konteks ini beberapa pembeli (buyers) terkadang menghendaki adanya standar-standar produksi yang harus dipenuhi oleh perusahaan/industri.
“Terkait sektor ketenagakerjaan perlu adanya penerapan standar kerja yang layak (decent work) di sektor kelapa sawit,” lanjutnya.
Selain itu, kondisi hubungan kerja di sektor kelapa sawit tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Namun di sisi lain, muncul berbagai kemungkinan terburuk akibat dari pandemi, seperti penutupan pabrik karena terjadi kasus penularan Covid-19 di lingkungan kerja.
Guna mengantisipasi kemungkinan terburuk kondisi hubungan kerja akibat pandemi Covid-19, lanjut Dirjen, pengusaha dan pekerja perlu meningkatkan kualitas dialog sosial (bipartit). Dari dialog sosial ini diharapkan dapat merumuskan dan menyepakati hal-hal yang akan menjadi solusi bersama dalam meningkatkan produktivitas serta kesejahteraan pekerja sektor kelapa sawit.
Menurut Dirjen, juga perlu ada gagasan dan rekomendasi tentang pelaksanaan hubungan kerja dalam upaya penyempurnaan regulasi terkait hubungan kerja di sektor kelapa sawit guna meningkatkan produktifitas kerja dan kesejahteraan pekerja.
Terkait soal ini, Dirjen Putri menyatakan, Menaker Ida Fauziyah menginginkan agar sektor kelapa sawit meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja akan terus bertambah seiring meningkatnya produksi kelapa sawit.
Dialog ini dihadiri oleh Staf Khusus Menaker Dita Indah Sari, GAPKI Pusat dan Daerah terdiri dari 9 Federasi SP/SB dan Federasi SP BUN. Sedang peserta secara virtual dari 16 Disnaker Provinsi yang memiliki wilayah pembinaan sektor kelapa sawit. Dialog ini menghasilkan 11 komitmen bersama antara organisasi pengusaha dengan Serikat Pekerja/Buruh Sektor Kelapa Sawit. (Purwanto).