JAKARTA-MARITIM: Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan mengamanatkan bahwa kebijakan penetapan Upah Minimum (UM) merupakan salah satu program strategis nasional. Untuk itu, pemerintah hadir dengan mengatur penetapan upah minimum.
“Pemerintah peduli terhadap kepentingan pekerja dan pengusaha, serta kelangsungan berusaha,” kata Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI dan Jamsos) Kemnaker, Indah Anggoro Putri, dalam seminar terbuka secara virtual membahas proses penetapan Upah Minimum 2022 yang diselenggarakan Kementerian Ketenagakerjaan, Jumat (12/11/2021).
Dikatakan, upah minimum dimaksudkan sebagai perlindungan kepada pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun agar upahnya tidak dibayar terlalu rendah. Kebijakan upah minimum juga ditujukan sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan dan mendorong kemajuan ekonomi Indonesia.
“Berdasarkan PP No. 36 Tahun 2021 upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah, yaitu Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK),” ujarnya.
Menurut Dirjen, PP 35/2021 tidak mengamanatkan upah minimum berdasarkan sektor. Namun, untuk Upah Minimum Sektor (UMS) yang ditetapkan sebelum 20 November 2020 dan masih berlaku, maka UMS yang nilainya lebih tinggi dibandingkan UMP atau UMK di wilayah tersebut, dapat dilanjutkan. Dengan demikian semua pihak harus tetap patuh selama UMS itu masih berlaku.
“Namun setiap pihak harus mendukung penetapan Upah Minimum 2022 sesuai dengan PP Nomor 36 Tahun 2021,” tegas Dirjen.
Data BPS
Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Dinar Titus Jogaswitani mengatakan, semangat dari formula upah minimum berdasarkan PP No. 36/2021 untuk mengurangi kesenjangan upah minimum, sehingga terwujud keadilan antar wilayah. Keadilan antar wilayah tersebut dicapai melalui pendekatan “Rata-rata Konsumsi Rumah Tangga di Masing-masing Wilayah”.
Selain itu, penetapan upah minimum juga ditujukan untuk mencapai kesejahteraan pekerja/buruh dengan tetap memperhatikan kemampuan perusahaan dan kondisi perekonomian nasional. Hal tersebut dilakukan melalui penggunaan data-data ekonomi dan ketenagakerjaan yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurut Dinar, BPS sebagai satu-satunya wali data nasional merupakan lembaga yang independen dan kompeten dalam hal penyediaan data-data makro yang dibutuhkan oleh semua pihak yang berkepentingan. BPS tidak melakukan pengumpulan data yang secara khusus untuk penghitungan upah minimum.
Data-data dari BPS yang digunakan dalam perhitungan upah minimum sudah lama dikumpulkan oleh BPS sebelum disahkannya PP No. 36/2021. Data-data untuk penghitungan penetapan upah minimum bisa diakses pada wagepedia.kemnaker.go.id.
“Data tersebut juga digunakan oleh institusi lain, baik lokal maupun internasional, dalam merencanakan atau mengambil keputusan yang akan dilakukan, sehingga banyak pihak yang mengawasi data BPS,” ucapnya.
Sementara itu, pakar pengupahan dari Dewan Pengupahan Nasional, Joko Santosa menyatakan, penetapan upah minimum (UM) penting untuk menaikkan indeks daya saing Indonesia dan meningkatkan kepercayaan investor terhadap sistem pengupahan Indonesia terkait kepastian hukum dan indikator perekonomian & ketenagakerjaan yang harus ditaati semua pihak.
Joko juga menyebut dampak lain yang perlu diantisipasi dalam penetapan UM terkait situasi pandemi Covid-19 saat ini. Yaitu potensi terhambatnya perluasan kesempatan kerja baru, terjadinya subtitusi tenaga kerja ke mesin (otomatisasi proses produksi), memicu terjadinya PHK, mendorong terjadinya relokasi dari lokasi yang memiliki nilai UMK tinggi ke lokasi yang nilai UMK-nya lebih rendah, serta mendorong tutupnya perusahaan.
“Potensi lainnya yaitu untuk meningkatkan ruang dialog kesepakatan upah serta penerapan struktur dan skala upah di atas upah minimum,” ucapnya.
Terkait hal ini, Joko mengajak seluruh pihak untuk lebih fokus dalam penyesuaian upah di atas upah minimum yang jumlah pekerjanya adalah mayoritas. Terlebih lagi dengan kondisi upah minimum yang sudah di atas median atau rata-rata upah, sebaiknya semua pihak fokus kepada upah berbasis kinerja individu dan produktivitas, sehingga kenaikan upah pekerja akan bergantung dengan produktivitas yang dihasilkannya. Bila hal ini dilakukan, maka dapat mendorong kesejahteraan pekerja secara keseluruhan.
“Penerapan struktur skala upah dengan penyesuaian berbasis kinerja individu akan mendorong distribusi upah di atas upah minimum secara adil antar jabatan/pekerja yang harus menjadi tujuan perjuangan pekerja,” kata Joko.
Seminar tersebut diikuti lebih dari 1.000 partisipan, mulai dari bupati/walikota seluruh Indonesia, semua kepala dinas yang membidangi ketenagakerjaan provinsi/kabupaten/kota, Dewan Pengupahan Provinsi/Kabupaten/Kota, Lembaga Kerja Sama Tripartit se Indonesia, APINDO, SP/SB, dan stakeholder hubungan industrial. (Purwanto).