INAplas Desak Dr Jenna Jambeck Merevisi Penelitian Sampah Plastik Laut

Dr Jenna Jambeck tengah menyampaikan penelitiannya didampingi Direktur Industri Kimia Hilir Kemenperin Teddy C Sianturi sebagai moderator dan pembicara Dr Zainal Abidin dari ITB
Dr Jenna Jambeck tengah menyampaikan penelitiannya didampingi Direktur Industri Kimia Hilir Kemenperin Teddy C Sianturi sebagai moderator dan pembicara Dr Zainal Abidin dari ITB

Jakarta, Maritim

Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (INAplas) mendesak Dr Jenna Jambeck, sebagai seorang peneliti senior Marine Debris dan Associate Professor dari Georgia University, Amerika Serikat (AS), untuk mencabut dan merevisi pernyataannya. Karena Indonesia bukanlah negara penghasil sampah plastik laut nomor dua terbesar di dunia setelah China.

“Angka penelitian dari Dr Jenna Jambeck, yang menyatakan Indonesia negara nomor dua terbesar di dunia sebagai produsen sampah plastik laut setelah China, adalah menyesatkan. Kami berani mengatakan angka itu tidaklah benar,” tegas Wakil Ketua INAplas, Suhat Miyarso, saat diskusi INAplas dengan Dr Jenna Jambeck dan pembicara lainnya, di Jakarta, Senin (12/6).

Diskusi yang dimoderatori Direktur Industri Kimia Hilir Kemenperin, Teddy C Sianturi tersebut, juga menghadirkan pembicara Edi Rivai dari INAplas dan Dr Zainal Abidin dari ITB.

Peneliti Dr Jenna Jambeck menyatakan, Indonesia merupakan negara kedua terbesar di dunia sebagai produsen sampah plastik laut setelah China. Dengan kontribusi sebesar 1,29 juta ton per tahun.

“Angka itu tidak benar. Apalagi, angka itu diperoleh dari kumpulan data dari negara-negara lain, bukan fokus dari laut Indonesia. Yang kami hitung jumlahnya itu tidak lebih dari 0,17 juta ton per tahun. Bukannya 1,29 juta ton per tahun,” ungkap Suhat.

Kalau pun angka itu benar, sambungnya, berarti apa yang kita lakukan selama ini untuk mengatasi sampah laut salah kelola. Padahal, INAplas rutin melakukan pembersihan sampah-sampah plastik di sepanjang pantai laut Indonesia.

Yang benar, lanjut Suhat, Indonesia sudah melakukan daur ulang plastik secara benar. Sehingga dari daur ulang itu diperoleh produk-produk baru yang berbasis plastik.

Wakil Ketua INAplas Suhat Miyarso

Ditambahkan, akibat dari angka Dr Jambeck yang besar itu, saat ini pemerintah galau mengambil keputusan. Lalu menyatakan sampah plastik adalah sebagai sumber utama pencemaran laut. Sehingga untuk itu perusahaannya perlu dikenakan pajak dan cukai.

“Ini kan jadi tidak benar lagi. Akibat lainnya, KLH dan Kemenko Kemaritiman mengambil data Dr Jambeck sebagai dasar pijakan. Ini yang kita sayangkan. Padahal, kita juga punya data yang terbit pada 2016, tapi pemerintah tidak mau memakainya. Sedangkan data Dr Jambeck dikeluarkan pada 2015,” katanya.

Di tempat terpisah, Direktur Industri Kimia Hilir Kemenperin, Teddy C Sianturi, mengatakan semua persoalan ini sebenarnya bermula dari buruknya manajemen pengelolaan sampah. Makanya, perlu dilihat kebijakan Kemenko Kemaritiman seperti apa dan kebijakan kementerian serta lembaga lainnya juga seperti apa.

Kalau dari sektor industri, jelas Teddy, Kemenperin tetap akan fokus pada cara bagaimana menciptakan inovasi plastik-plastik dengan metode biodegradable.

Cara kedua lewat jalur daur ulang, kerja sama TPA dan Pemda dengan para kolektor, lalu pabrik harus berani membeli dengan harga tinggi.

“Artinya, membeli kembali (buy back). Jadi semua perlu kesadaran bersama, produsen, konsumen dan pemerintah. Langkah berikutnya kita akan buatkan standarisasi untuk kantong plastik,” ucap Teddy. (M Raya Tuah)

 

 

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *