GIMNI Tolak Penerapan DMO Jadi 30%

Ist

JAKARTA-MARITIM : Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menegaskan pihaknya keberatan dengan kebijakan menaikkan Domestic Market Obligation (DMO) minyak sawit dari sebelumnya 20% menjadi 30%.
Pasalnya, GIMNI mengkuatirkan penerapan tersebut justru akan mengganggu ekosistem dari industri sawit nasional.

“Kami terus terang tidak setuju dengan DMO 30% ini memojokkan perindustrian persawitan dan kalau ekspor macet itu semua akan macet,” jelas Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga, dalam konferensi pers virtual, Jumat (11/3).

Sahat mengapresiasi kebijakan DMO sebelumnya yang mampu mengumpulkan sekitar 415.000 kilo liter minyak goreng sawit dalam waktu 22 hari. Di mana jumlah tersebut sudah melebihi kebutuhan selama satu bulan yaitu 330.000 kilo liter. Artinya seharusnya pemerintah tak perlu menaikkan kebijakan DMO menjadi 30%.

“Jadi dari 20% DMO jadi 30% DMO, itu ada 48% tambahan margin produk ekspor yang harus dicari itu mencarinya tidak mudah,” ungkapnya.

Selain itu dengan menaikkan DMO akan membuat stok minyak sawit di domestik semakin melimpah. Sementara kapasitas tampung di tiap perusahaan terbatas.

“Karena tangki-tangki kita itu menurut pengalaman kami bersama Gapki itu hanya sekitar 4,8 juta ton bisa menampung. Ini kemungkinan besar kalau tetap ekspor macet kita akan mencapai 5,9 juta ton maka bulan April prediksi kami bahwa kita akan mengalami kesulitan dan TBS buah sawit daripada petani mendekati lebaran tadi sangat disayangkan jangan sampai ada kemacetan,” ungkapnya

Sahat menjelaskan, kelangkaan yang saat ini terjadi bukan dikarenakan langkanya pasokan melainkan alur distribusi yang harus diperbaiki.
GIMNI memproyeksikan Indonesia di tahun 2022 dengan luasan kebun 16,38 juta hektar, akan menghasilkan 49 juta ton CPO dan minyak inti sawit 4,8 juta ton, maka total ada 53,77 juta ton.

Kemudian kebutuhannya untuk industri makanan 9,3 juta ton kemudian oleo chemical 2,1 juta ton dan biodiesel 8,16 juta ton jadi. Sehingga total kebutuhan domestik hanya 19,67 juta ton atau hanya 36% dari total produksi, sedangkan sisanya diekspor.

Sahat menjelaskan, apabila ekspor itu terhalang maka perkebunan sawit akan rugi, serta mayoritas TBS (tandan buah segar) petani tidak akan terolah karena market mayoritas ada di luar negeri.

“Jadi kalkulasi kami itu kebutuhan per bulan itu hanya 330.311 kilo liter, kalau untuk setahun 4,9 juta ton CPO, jadi saya sudah sampaikan produksi kita 49 juta ton, jadi artinya itu hanya 10%, migor ini ga perlu khawatir membuat kita bingung, sehingga di pasar sampai chaos kayak seakan-akan kiamat akan datang,” pungkasnya.

Terkait dugaan adanya penyelundupan, Sahat menambahkan, tak mungkin minyak sawit hasil DMO diselundupkan. Karena sistem pengawasan bea cukai juga dinilai sudah sangat ketat. Sehingga kebocoran minyak DMO untuk pasar dalam negeri pun tak mungkin dapat diekspor secara ilegal.

“Kami yakin tidak ada penyelundupan itu. Itu hanya sinyalemen, tapi dengan sistem Bea Cukai yang demikian ketat tidak mungkin ini terjadi,” katanya.
Dijelaskan, para produsen sekaligus eksportir CPO bahkan sempat kebingungan untuk mencari saluran pemasaran sawit demi memenuhi kewajiban DMO.

Pasalnya, mayoritas industri minyak goreng tidak terhubung dengan produsen CPO di level hulu. Hal itu pun sempat berdampak pada rendahnya kinerja ekspor karena eksportir tak akan memperoleh persetujuan ekspor jika belum menjalankan DMO.

“Hanya eksportir-eksportir yang berkaitan dengan pasar domestik (minyak goreng) saja yang bisa jalan lancar,” ujarnya. (Muhammad Raya)

Related posts