PASANG-surut pertumbuhan pekonomian daerah Cilacap, selalu berkaitan dengan kondisi lingkungannya. Awal perkembangannya terjadi pada pertengahan abad ke-19, ketika pemerintah Hindia Belanda mengumpulkan biaya menutup kerugian akibat “Perang Jawa”. Politik tanam paksa yang sebenarnya berarti kontrol terhadap agroindustri, yang kemudian berlanjut dengan monopoli dalam eksportasi komoditas unggulan dari Pulau Jawa ke Eropa. Dengan lahannya yang subur di daerah aliran sungai Serayu, Lukula, Donan, dan lainnya, kawasan Banyumas yang meliputi Purwokerto, Purbalingga hingga Cilacap dapat memberi kontribusi hasil agro untuk ekspor, utamanya kopi, nila dan gula.
Dibukanya jaur kereta api dari Yogya ke Cilacap yang dikerjakan mulai tahun 1879 oleh Staatspoor yang merupakan bada usaha milik pemerintah Hindia Belanda, maka mulai pula era baru dalam angutan massal, hingga tahun 1887 hingga 1930 disebut sebagai masa puncak pelabuhan. Namun kondisi itu segera berubah, seiring terjadinya resesi ekonomi yang melanda Eropa selepas Perang Dunia I. Untuk negara-negara jajahan sebagai penyedia bahan mentah, keadaan itu diperparah dengan ancaman akan terjadinya PD II, yang secara langung juga melibatkan negara-negara Asia dalam grup Axis bersama Jerman serta Italia di Eropa. Ketika PD II meletus tahun 1942, pelabuhan-pelabuhan Tarakan, Dumai dan Cilacap sebagai pusat konsolidasi bahan bakar minyak, menjadi sasaran pertama melumpuhkan logistik Hindia Belanda yang bersama Australia merupakan negara sekutu.
Kehancuran total kota dan pelabuhan Cilacap sebagai titik harapan evukuasi menuju Australia, dapat dicermati dari bukti sejarah terdpatnya 35 kapal yang tenggelamkan akibat serangan kamikaze pasukan udara Jepang. Aibatnya, selama 20 tahun setelah itu, perairan Peabuhan Cilacap tertutupoeh bangkai kapal serta ranjau laut sisa PD II. Maka kemudian ketik jwatan Palabuhan mulai medapat tugas mengelola fasilitas ini sejak tahun 1950, harus kembali memulai dari titik nol.
Sejalan dengan mulai dioperasikannya kilang pengolahan BBM oleh Pertamina, maka pada 18 Juni 1969 pelabuhan Cilacap mendapat status sebagai pelabuhan laut yang terbuka untuk perdagangan umum. Dengan kian meningkatnya kegiatan kepelabuhanan termasuk Cilacap, status pengelolaan pelabuhan oleh Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP) diubah jadi Perusahaan Umum (Perum), dan pada 1993 tetapkan Cilacap sebagai Pelabuhan Kelas I, kemudian kembali diubah jadi cabang PT Pelabuhan Indonesia III.
Lewat perubahan nama Pelabuhan Laut Cilacap menjadi Tanjung Intan pada 29 Juni 1996, dimulai pembangunan dengan penyambungan Dermaga I dan Dermaga II. Sejak itu, berbagai peluang di Tanjung Intan bermunculan. Ada yang terwujud, seperti pembangunan fasilitas bongkar muat tepung terigu, pembangunan pengolahan gula rafinasi, pelayanan bongkar muat semen dan batubara. Tetapi ada pula peluang yang belum terwujud seperti bongkar muat petikemas.
Namun.menurut Ali Sodikin GM Pelindo III Tanjun Itan,pada prinsipnya tetap akan ada peluang-peluang baru yang kedepan dapat diraih, sesuai potensi yang terdapat pada hinterland Pelabuhan Tajug Intan. Menenai capaian kinerja memasuki tahun 2017, dapat dicermati lewat kemasan informasi Diah Ayu Puspitasari, Humas Pelindo III Tanjun Intan. Menurutnya, Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap mencatat trafik arus barang dan kinerja pelayanan barang pada triwulan I tahun 2017 mengalami peningkatan dibanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Trafik arus barang dalam satuan Ton di triwulan I tahun 2017 tercatat meningkat sebesar 38% yang terealisasi sebesar 5.980.065 Ton dibanding periode yang sama tahun 2016 yang tercatat sebesar 4.345.564 Ton. Sedangkan dalam satuan M3 tercatat meningkat sebesar 292% yang terealisasi sebesar 11.848 M3 dibanding periode yang sama tahun 2016 sebesar 3.026 M3” tutur Diah Ayu.
Sementara itu Ali Sodikin, GM Pelindo III Pelabuhan Tanjung Intan menyampaikan bahwa selain arus barang, kinerja pelayanan barang baik luar negeri maupun dalam negeri khususnya curah kering dalam satuan T/G/H (Ton/Gross/Hour) maupun T/S/D (Ton/Ship/ Day) pada triwulan I tahun 2017 juga mengalami peningkatan. Tuurnya: “Kenaikan arus barang yang masuk ke Pelabuhan Tanjung Intan dalam satuan Ton maupun M3 dikarenakan telah beroperasinya unit III PLTU serta meningkatnya kebutuhan BBM dalam negeri”.
Ali menjabarkan realisasi kinerja pelayanan barang dalam negeri dalam satuan T/S/D meningkat 15,37% , sebesar 4.730 T/S/D dibanding periode saa tahun 2016 sebanyak 4.100 T/S/D. Sedang kinerja pelayanan barang luar negeri tahun 2017 dalam satuan T/G/H (Ton/ Gross/Hour) meningkat 17,6%, terealisasi 144,82 T/G/H dibanding tahun 2016 yakni 123,15 T/G/H. Jelasnya:“Kenaikan ini disebabkan oleh bongkar muat biji gandum dan klinker yang didukung oleh crane kapal yang handal, ketersediaan angkutan serta didukung dengan peralatan bongkar muat yang memadai. Untuk stevedoring stahun 2017 juga meningkat sejalan dengan kenaikan arus barang, dengan realisasi 1.208.425 Ton, meningkat 58% bila dibanding periode yang sama tahun 2016 sebesar 765.312 Ton”.
Pada triwulan I/2017, Pelindo III Tanjung Intan merealisasikan pembangunan Jalan Wijayapura, Kelurahan Tambakreja Kecamatan Cilacap Selatan sebagai akses penyebeangan ke Nusakambangan, Dermaga Kepanduan dan Dermaga Wijayapura. Selain itu ada rencana kerja manajemen 2017 pembuatan hydrant lanjutan, perpanjangan dermaga multipurpose dan revitalisasi dermaga IV, pengerukan kolam Dermaga I, II, III, IV, Multipurpose, Dermaga VI, Dermaga Wijayapura dan TUKS PT Pusri (Persero), pembangunan dam penahan lumpur (multiyear) serta pengadaan Instalasi lampu penerangan. (Bersambung) ***ERICK A.M.