BOGOR–MARITIM :Guna menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menggelar Bimbingan Teknis Badan Usaha Pengerukan dan Reklamasi. Bimbingan ini, dalam rangka meningkatkan efektivitas kegiatan pengerukan dan reklamasi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 125 Tahun 2018 tentang Pengerukan dan Reklamasi sebagaimana diubah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 53 Tahun 2021 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 125 Tahun 2018 tentang pengerukan dan reklamasi pada pasal 34 ayat (1) diatur bahwa Pelaksanaan kegiatan kerja keruk dan/atau kegiatan reklamasi dilakukan oleh pelaksana kegiatan kerja keruk dan/atau reklamasi yang memiliki izin usaha pengerukan dan reklamasi, dan pasal 34 ayat (2) izin usaha pengerukan dan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Kepelabuhanan dalam sambutannya yang dibacakan oleh Kepala Sub Direktorat Pengerukan dan Reklamasi Yudhonur Setyaji, saat membuka acara Bimbingan Teknis Badan Usaha Pengerukan dan Reklamasi di Bogor, Jumat (1/7).
“Kami mengharapkan kegiatan ini dapat memberikan output dan outcome yang baik kepada peserta terutama dalam hal hak dan kewajiban pemegang izin usaha pengerukan dan reklamasi dalam rangka meningkatkan efektifitas kegiatan pengerukan dan reklamasi,” ujar Yudho.
Ia mengatakan, pemegang izin usaha pengerukan dan reklamasi wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri Perhubungan cq. Direktorat Jenderal apabila terjadi perubahan nama Direktur, Penanggung Jawab, atau Pemilik, Domilisi Perusahaan, serta status kewajiban paling lama 14 (empat belas) hari sejak perubahan.
Ditambahkan, pemegang izin usaha pengerukan dan reklamasi juga wajib melaporkan kegiatan usaha pengerukan dan reklamasi kepada Direktur Jenderal setiap tiga bulan sekali. “Laporan tersebut bisa disampaikan melalui hard copy maupun softcopy kepada kami,” tutur Yudho.
Sebagai informasi, saat ini terdapat 45 perusahaan yang telah mendapatkan izin usaha pengerukan dan reklamasi. “Adapun monitoring yang kami lakukan saat ini masih bersifat insidentil,” ucapnya.
Disamping itu, Ia juga menyampaikan hasil evaluasi dan rekapitulasi pemegang izin usaha pengerukan dan reklamasi yang belum dilakukan monitoring dan evaluasi 2 (dua) tahun sekali.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Biro Hukum Kementerian Perhubungan Hary Kriswanto yang juga menjadi narasumber menyampaikan materi terkait legalitas Izin Usaha Pengerukan Dan Reklamasi (IUPR). Ia menjelaskan bahwa untuk memperoleh izin usaha dimaksud terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.
Adapun persyaratan tersebut tertuang dalam Pasal 34 dalam PM 125 Tahun 2018 tentang Pengerukan dan Reklamasi antara lain berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau Badan Hukum Indonesia, Akte pendirian dan akte perubahan perusahaan serta pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.
Selanjutnya harus memiliki tempat usaha atau kantor dengan bukti kepemilikan, surat keterangan domisili yang masih berlaku, laporan keuangan perusahaan minimal 1 (satu) tahun terakhir, memiliki paling sedikit 1 (satu) unit kapal keruk yang laik laut berbendera Indonesia, memiliki paling sedikit 5 (lima) orang tenaga ahli WNI dengan pendidikan terkait, serta berita acara peninjauan lapangan oleh tim teknis terpadu kantor pusat Direktorat Jenderal yang melibatkan Sekretariat Jenderal.
Perlu diketahui, untuk perusahaan berbentuk Perseroan Persekutuan Modal untuk bisa mengajukan izin usaha dapat melalui Online Single Submission (OSS) yakni membuat akte pendirian perseroan yang dilanjutkan dengan melakukan askes Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) melalui Air Handling Unit (AHU) Online untuk mendapatkan sertifikat Pendaftaran. Proses integrasi AHU online dengan OSS untuk perseoran persekutuan modal, OSS akan menarik data SABH ke dalam sistem OSS dan pelaku usaha dapat melakukan proses untuk mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB).
Turut hadir dalam kegiatan ini antara lain Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Royal IHC di Indonesia, PT. Hidronav Tehnikatama, serta para peserta lainnya terdiri dari Instansi Pemerintah Daerah dan Stakeholder terkait, baik yang hadir langsung maupun secara daring. (Rabiatun)