Jakarta, Maritim
Soenoto, orang pertama di Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) meminta Presiden Jokowi segera mencopot Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukito.
Pasalnya, kedua menteri jajaran Kabinet Kerja Presiden Jokowi tersebut tidak pro industri mebel dan kerajinan nasional, sehingga kinerja ekspor industri mebel dan kerajinan dalam negeri kalah bersaing dengan beberapa negara di Asia Tenggara. Seperti Vietnam, Malaysia dan negara lainnya.
“Kita mengusulkan Presiden Jokowi segera mengganti Menteri LHK Siti Nurbaya dan Mendag Enggartiasto Lukita, yang keduanya berasal dari Partai Nasdem. Yang tidak kami setuju dengan kedua menteri itu, karena mereka tetap kekeh memberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di hilir. Bukannya di hulu. Akibatnya, kinerja ekspor mebel kita turun secara signifikan,” tegas Soenoto, di Jakarta, kemarin.
Menurut orang yang tidak setuju Ibukota Negara dipindahkan ke Palangkaraya ini, SVLK yang sekarang ada sudah jadi komoditi yang diperdagangkan di lapangan. Tak ubahnya seperti ekspedisi muatan kapal laut (EMKL).
“Maka sebaiknya, persoalan SVLK ini dikembalikan saja ke hulu, bukan ke hilir. Tapi kalau mau tetap diberlakukan di hilir, pemerintah harus cerdas, yaitu menerapkan sistem dengan dua hal pokok. Bahwa harus dibuatkan prosedur yang sederhana dan tidak dipungut biaya (zero cost),” pintanya.
Kalau SVLK tetap diberlakukan, Soenoto meyakini, kinerja ekspor industri mebel dan kerajinan lokal makin tidak berdaya saing di pasar global. Bahkan saat ini saja kinerja ekspor mebel nasional itu sudah turun dan cukup mengkuatirkan.
Wakil Ketua Umum HIMKI, Abdul Sobur, didampingi Sekjen HIMKI, Basuki Kurniawan, menegaskan bagi perusahaan ekspor yang tidak memiliki SVLK dikenakan biaya Rp20 juta hingga Rp100 juta.
Basuki menjelaskan, saat ini kinerja ekspor industri mebel dan kerajinan Indonesia pada 2017 ditargetkan sebesar US$2,7 miliar, namun realisasinya hingga semester 1/2017 ini baru tercapai US$700 juta. Bahkan tahun lalu, kinerja ekspor ke berbagai negara Eropa dan belahan dunia lainnya turun signifikan hingga US$300 juta.
“Kondisi seperti itu belum pernah terjadi dalam sejarah industri mebel dan kerajinan kita. Ini yang paling memprihatinkan. Apalagi, presiden (Presiden Jokowi-red) kita berasal dari mebel. Berarti kan ada persoalan yang perlu dipecahkan,” ungkap Abdul Sobur.
Padahal, Indonesia memiliki SDM yang lebih besar, sumber daya alam yang lebih besar dan wilayahnya juga lebih besar dibandingkan Vietnam, Malaysia dan negara-negara lainnya di Asia Tenggara.
“Pada 2015, kinerja ekspor mebel kita mencapai US$3,9 miliar, lalu turun jadi US$1,6 miliar pada 2016 dan baru mencapai US$700 juta pada 2017 ini. Sehingga bisa dikatakan kinerja ekspor mebel dan kerajinan kita secara keseluruhan turun 12% ke semua negara tujuan ekspor. Termasuk ke Eropa,” hitung Sobur.
Salah satu dari 10 penyebabnya turunnya kinerja ekspor itu, karena pemberlakuan SVLK, di mana SVLK jadi beban biaya pada industri mebel.
“Dengan SVLK, berarti mebel kita minta diperiksa oleh Bea Cukai di negara tujuan ekspor, sehingga tidak bisa melenggang masuk. Sedangkan Vietnam, Malaysia dan China bisa melenggang masuk ke negara tujuan ekolehnya. Karena pemerintahan mereka tidak memberlakukan SVLK di negaranya,” ucap Sobur.
Ini yang disebut anomali, di satu sisi kinerja ekspor industri mebel dan kerajinan menurun, di sisi lain tidak demikian dengan Vietnam, Malaysia dan negara lainnya. Vietnam ekspornya mencapai US$7,2 miliar pada 2016 dan di 2015 memperoleh US$9,6 miliar. Malaysia US$2,5 miliar atau lebih tinggi US$800 juta dari pada Indonesia.** (M Raya Tuah)