JAKARTA-MARITIM: Aparat penegak hukum yang terlibat tindak pidana narkoba harus dihukum berat, yakni minimal 10 tahun penjara dan maksimal hukuman mati. Ketentuan seperti ini harus diatur secara eksplisit dalam undang-undang.
Hal itu dikatakan Siprianus Edi Hardum dalam disertasinya yang disampaikan saat ujian terbuka oleh enam penguji di Kampus Universitas Trisakti Jakarta, Rabu (2/11/2022).
Disertasi Siprianus Edi Hardum dengan judul ”Penguatan Fungsi Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana Narkoba di Indonesia” itu mendapat nilai “Sangat Memuaskan” dari tim penguji.
Untuk itu, kata Edi, demikian panggilan advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini, pemerintah dan DPR harus segera merevisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika untuk memperberat hukuman bagi aparat penegak hukum.
“Dalam undang-undang hasil revisi, harus disebut secara tegas bahwa aparat penegak hukum yang terlibat dihukum minimal 10 tahun dan maksimal hukuman mati,” kata Siprianus Edi Hardum S.IP, SH, MH yang kini menyandang gelar Doktor.
Sesuai undang-undang, lanjut Edi, yang dimaksud dengan aparat penegak hukum adalah polisi, jaksa, hakim dan advokat.
Alumnus S2 Hukum Bisnis UGM ini mengatakan, keterlibatan oknum aparat penegak hukum di lapangan justru menghambat pemberantasan tindak pidana narkoba di Indonesia.
Dalam lima tahun terakhir, Mabes Polri mengungkap keterlibatan anggota Polri dalam tindak pidana narkotika, di mana sejak 2018 – 2021 sebanyak 1.858 anggota polisi ditangkap dan ditindak. “Ini belum termasuk yang terjadi tahun 2022 dimana salah satunya adalah mantan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Tedy Minahasa,” kata dia.
Menurut Edi, sebagian hakim di Indonesia memvonis ringan pengedar narkoba, karena sesuai ketentuan undang-undang, yakni Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika. Kelemahan itu adalah ketentuan minimal hukuman yang terlalu ringan. “Seharusnya untuk pengedar narkoba sebagaimana disebutkan di atas, divonis minimal 10 tahun penjara dan maksimal hukuman mati,” katanya.
Walaupun demikian, Edi berharap, perekrutan hakim selanjutnya harus selektif. Hakim harus berkomitmen menegakkan hukum demi kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Edi Hardum mengatakan, salah satu tantangan Negara Indonesia untuk maju adalah kejahatan narkoba. Kejahatan narkoba sebagai kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) melibatkan hampir profesi yang ada di Indonesia, seperti pegawai negeri sipil, artis, wartawan, advokat, aparat keamanan, pejabat pemerintah, tokoh partai politik.
Keterlibatan aparat penegak hukum dalam tindak pidana narkoba membuat masyarakat biasa merasa bahwa tindak pidana narkoba merupakan tindak pidana yang tidak perlu ditakuti. Dampak lain dari keterlibatan aparat penegak hukum ini adalah hukuman untuk pelaku tindak pidana narkoba ringan.
Menurut Edi, pencegahan dan pemberatasan tindak pidana narkoba di Indonesia tidak fokus. Pasalnya, leading sector untuk mencegah dan memberantas tindak pidana narkoba bukan hanya satu lembaga seperti Badan Narkotika Nasional serta lembaga di bawahnya, tetapi juga Polri. Akibatnya terjadi “perebutan” kasus antara BNN dengan Polri.
Karena leading sector-nya tidak hanya satu lembaga, sambung dia, maka anggaran untuk BNN yang seharusnya sebagai leading sector untuk mencegah dan memberantas narkoba sangatlah kecil. Itulah yang menjadi salah satu sebab peran dan fungsi BNN sampai saat ini tidak maksimal.
Ia mengatakan, tndak pidana narkoba merupakan tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime), maka pencegahan dan pemberantasannya pun harus luar biasa pula. Baik di sektor hulu yakni penyelidikan dan penyidikan, sektor tengah yakni vonis yang berat dari hakim dan sektor hilir yakni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) benar-benar membina tahanan dan narapidana tindak pidana narkoba. (Purwanto).