JAKARTA-MARITIM: Kementerian Ketenagakerjaan saat ini terus mengantisipasi kemungkinan terjadinya gelombang PHK, yang salah satunya akibat krisis global belakangan ini. Isu yang berkembang, PHK bakal terjadi di perusahaan-perusahaan padat karya, seperti industri tekstil, produk garmen dan alas kaki.
“Sampai saat ini memang belum terjadi gelombang PHK. Tapi pemerintah terus memantau dan menyiapkan langkah-langkah untuk menghindari terjadinya PHK,” kata Wakil Menaker Afriansyah Noor dalam acara coffee morning dengan wartawan yang tergabung dalam Forwaker (Forum Wartawan Ketenagakerjaan) di Jakarta, Senin (14/11/2022).
Didampingi Kepala Biro Humas Kemnaker Chairul Fadhly Harahap, Wakil Menaker menyatakan keyakinannya bahwa PHK itu bisa diatasi dengan melakukan beberapa langkah konkrit. Pertama, pemerintah harus mengurangi membanjirnya produk impor, bahkan kalau bisa dihentikan agar produk dalam negeri tetap eksis. Sebaliknya produk ekspor perlu ditingkatkan.
Pada prinsipnya, kata Afriansyah, pemerintah berusaha keras mencegah dan menghindari terjadinya PHK. Tapi kalau memang tidak bisa dicegah, perusahaan harus melakukan beberapa langkah sebelum terjadi PHK.
Kedua, lanjut Wamenaker, pelaksanaan PHK harus mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku. Antara lain, perusahaan harus mengurangi jam kerja/shift dan kalau perlu sementara merumahkan pekerja. Ini dimaksudkan agar pekerja tetap mendapat gaji meski sedikit berkurang.
Ketiga, perusahaan harus meningkatkan kompetensi pekerja dengan melakukan pelatihan (upskill) agar mampu mengikuti perkembangan teknologi. Sebab, di era industri 4.0 yang kini mengarah ke era 5.0, banyak jenis pekerjaan yang akan/hilang dan digantikan oleh jenis pekerjaan yang baru.
Keempat, serikat pekerja perlu meningkatkan komunikasi bipartit yang intens dengan pihak manajemen, terutama untuk membahas dan mencari solusi terbaik bila akan terjadi PHK. Kalau perlu menghadirkan pemeritah untuk membahas secara tripartit.
“Hal ini penting untuk merumuskan hak-hak pekerja bila memang harus terjadi PHK,” tegasnya seraya berharap PHK tidak terjadi, baik di perusahaan padat karya maupun yang lain.
Selain isu PHK, acara coffee morning tersebut juga membahas isu-isu krusial yang mencuat saat ini. Mulai dari rencana kenaikan upah minimum 2023, inflasi sebagai dampak krisis global, sampai KTT G20 yang kini berlangsung di Bali.
Terkait rencana kenaikan upah minimum, Wamenaker mengakui adanya usulan dari konfederasi serikat pekerja yang minta upah minimum 2023 naik 13%.
Tentang hal ini, mantan aktivis pekerja tersebut menyatakan usulan itu boleh-boleh saja. “Mungkin ada perusahaan yang mampu menaikkan 13%, tapi pasti banyak perusahaan yang tidak mampu membayar,” tandasnya.
Afriansyah Noor menegaskan, kita harus mengendepankan kepentingan nasional. Dalam hal ini, pemerintah telah memiliki rumusan perhitungan kenaikan upah minimum yang berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.36/2021 tentang Pengupahan sebagai pelaksanaan UU Cipta Kerja.
Dalam PP 36/2021 antara lain disebutkan, kenaikan upah minimum dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, paritas daya beli dan kondisi ketenagakerjaan di daerah setempat.
“Ini yang jadi pegangan pemerintah sebagai dasar perhitungan kenaikan upah minimum,” tegas Wamen. (Purwanto).