NIATAN pemerintah mengurangi kepadatan Jalur Jalan Pantura Jawa karena arus kendaraan pengangkut manusia dan barang, akan segera terwujud. Untuk itu Kementerian Perhubungan (Kemenhub) ditugsi segera mengubah pola pengiriman logistik melalui laut.
Konsep bernama long distance ferry (LDF) ini diupayakan secara maksimal. Bila diperlukan, Kemenhub akan memberi insentif bagi perusahaan pelayaran yang mengikuti program ini.
“Sesuai konsep Mentri Perhubungan, tahun ini minimal enam kapal minimal akan beroperasi melayani angkutan laut Jakarta-Surabaya dan Jakarta-Semarang, menggunakan moda angkutan penyeberangan dengan kapal ferry jarak jauh” ujar Cucu Mulyana Direktur Angkutan dan Multimoda Kemenhub saat diskusi “Menuju Arus Orang dan Logistik Nyaman di Masa Lebaran” di Jakarta, pekan lalu.
Menurut Cucu, kalau berbicara keuntungan, saat mampu mengalihkan muatan jalan raya baik yang tangible maupun yang intangible, maka efisiensi pemerintah akan sangat besar. Hal tersebut mengingat kepadatan di jalan akan membuat banyak waktu dan bahan bakar terbuang. Saat ini fihaknya sedang kembangkan konsep program LDF yang baru ada 1 kapal yang beroperasi, dengan rencana Agustus mendatang sudah ada tambahan 1unit lagi.
Konsep LDF diluncurkan berbareng dengan operasionalisasi jembatan timbang. Jika jembatan timbah sudah beroperasi penuh, Kemenhub akan terapkan nol toleransi terhadap kelebihan dimensi dan berat. Dengan aturan ketat di jembatan timbang, diharap kendaraan pengangkut barang akan beralih ke moda angkutan laut,yang pada awal penerapan konsep ini, diharap pengalihan logistik dari darat ke laut bisa mencapai setidaknya 20%.
“Kami tidak mau muluk-muluk, karenya target kami bisa mencapai paling tidak 20% dulu. Kalau tiap hari sekitar 12.000 kendaraan logistik Jakarta-Surabaya, makal 20% sudah signifikan mengurangi kepadatan i jaur pantura” kata Cucu.
Kendati demikian, ia akui pengalihan pengiriman barang yang sebelumnya lewat darat ke laut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di Indonesia, belum ada sistem logistik nasional baik laut, darat maupun udara. Cetak birunya memang telah dibuat, namun belum operasional sehingga secara otomatis biaya logistik lebih tinggi. Ia jelaskan, biaya satu kali perjalanan logistik sama dengan membayar ongkos pulang-pergi. Misalnya, logistik dari Jakarta ke Surabaya, setelah barang diantar, maka dari Surabaya untuk kembali ke Jakarta truk akan mengangkut apa, masih tak jelas. Akhirnya perusahaan angkutan darat yang harus menutup biaya kembalinya truk dalam keadaan kosong.
Menurut Cucu kondisi seperti itu mengakibatkan seolah-olah transportasi logistik di Indonesia tak efisien. Padahal masalahnya, terletak pada sistem logistik nasional yang belum ada. Untuk membenahi kondisi ini, Kemenhub bersama DPR kini sedang merancang regulasi sistem transpotasi nasional. Pungkas Cucu: “Karena sekarang transportasi masih subsektor misalnya UU DLLAJ dan perkeretaapian. Ke depan aturan perpindahan orang dan barang antar moda harus terwujud”. ***ERICK A.M.