Masyarakat Miskin Mudah Disusupi Radikalisme

Sugiarto Sumas.
Sugiarto Sumas.

JAKARTA, MARITIM.

Gejala keretakan dinding kebangsaan belakangan ini disebabkan oleh aksi demi kepentingan sesaat dan ujaran kebencian, serta gerakan radikalisme berbasis pemahaman yang dangkal.

“Masalah ini tidak boleh diabaikan karena mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,” tegas Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Dr. Sugiarto Sumas, pada acara memperingati Haul Al-Maghfurlah KH.Abdul Fatah dan Al Manshur dan Para Masyayikh ke 34 bertema ‘Membendung Radikalisme Melalui Gerakan Masyarakat Akar Rumput’, di Tuban, Jawa Timur.

Dalam sambutannya mewakili mewakili Menaker, Sugiarto menekankan perlunya pemahaman bersama terhadap ancaman radikalisme yang bukan hanya pada serangan fisik, melainkan juga propaganda ideologi yang mendasari munculnya radikalisme yang secara masif menyasar pola pikir dan pandangan masyarakat.

Radikalisme, menurut Sumas, adalah paham yang dibuat-buat oleh individu atau sekelompok orang yang menginginkan perubahan sosial dan politik untuk kepentingannya. Tapi yang mudah terserang dan terpengaruh pada propaganda itu adalah masyarakat miskin yang marginal sosial ekonominya.

Anti terorisme

Mengutip data BPS Maret 2017, Kepala Barenbang Kemnaker mengatakan, jumlah penduduk miskin tercatat 10,64 persen, atau turun 0,06 persen dibanding September 2016 sebesar 10,70 persen.

Sementara tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2017 sebesar 5,33 persen, atau turun 0,28 persen dari Agustus 2016 sebesar 5,631 persen.

Tingkat pengangguran terbuka itu terendah pasca reformasi, tetapi jumlahnya masih cukup besar, yakni sekitar 7,01 juta. Jumlah ini berpotensi untuk disusupi atau dipengaruhi oleh radikalisme.

Beranjak dari kondisi itu, secara konsisten Kemnaker berupaya menanggulangi kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan pengangguran. Di antaranya melalui program pendayagunaan Tenaga Kerja Sarjana (TKS), yakni memberikan pekerjaan kepada lulusan sarjana sebagai pendamping kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Selain itu, memberikan Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK) bagi angkatan kerja muda di BLK seluruh Indonesia dengan subsidi Kemenaker. Juga program pemagangan ke luar negeri, seperti Jepang dan Korea Selatan, untuk meningkatkan kualitas angkatan kerja muda Indonesia.

Kemnaker juga memberdayakan tenaga kerja muda melalui pelatihan wirausaha dan pemberian Bantuan Sarana Usaha (BSU) serta program padat karya dan teknologi tepat guna.

Berbagai upaya tersebut, kata Sugiarto,  memberi sumbangan yang siginifikan. Tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia tumbuh dari Rp74,75 juta per orang tahun 2014 menjadi Rp79,66 juta pada tahun 2016.

“Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga merangkak naik. Pada 2016 pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,02 persen atau 0,14 persen lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya sebesar 4,88 persen,” tukasnya.

Selain memberikan pelatihan dan peningkatan skill dan kompetensi serta pembukaan lapangan kerja secara massif, Kemnaker dibawah kepemimpinan Menteri Hanif Dhakiri, juga membuat pola baru dalam setiap pembekalan tenaga kerja. Antara lain materi soft skill yang berisi materi anti terorisme dan anti radikalisme dengan wawasan kebangsaan, nasionalisme dan islam rahmatan lil alamin.

Pemerintah juga memberi apresiasi kepada Ponpes dalam mencerdaskan bangsa melalui pendidikan umum dan agama Islam sekaligus sebagai lembaga pelatihan kewirausahaan yang mampu mengembangkan ekonomi umat. “Dengan membentuk karakter yang kuat yang sesuai dengan nilai-nilai Islam Nusantara, Ponpes akan mampu membendung munculnya radikalisme,” tegas  Sugiarto Sumas.**Purwanto.

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *