Pembangunan BLK Komunitas Perlu Diperluas ke Daerah Miskin Ekstrim

Salah satu bentuk workshop di BLK Komunitas lengkap dengan ruang belajar, peralatan pelatihan dan instrukturnya.

JAKARTA-MARITIM: Kemnaker sejak 2017 sampai sekarang gencar membangun BLK Komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia. Kenapa BLK Komunitas? Apa bedanya dengan BLK UPTP yang dikelola Kemnaker maupun BLK UPTD yang dimiliki Pemda?

BLK yang dimiliki pemerintah (UPTP dan UPTD) dibangun untuk memberikan ketrampilan dan kompetensi kepada para pencari kerja sebagai bekal untuk memperoleh pekerjaan maupun usaha mandiri.

Read More

Hingga 2019, BLK yang tersebar di seluruh Indonesia berjumlah 303 unit. Sebanyak 19 BLK merupakan Unit Pelaksanaan Teknik Pusat (UPTP) yang dikelola oleh Kemnaker, sedangkan 284 BLK lagi merupakan Unit Pelaksanaan Teknik Daerah (UPTD) milik pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Jumlah BLK yang dikelola Kemnaker terus bertambah seiring dengan adanya keinginan Pemda yang menyerahkan pengelolaaan BLK-nya ke Kemnaker dalam upaya membantu masyarakat setempat mendapat ketrampilan sesuai kebutuhan pasar kerja.

Namun jumlah BLK ini belum mampu mengatasi pengangguran. Untuk mempercepat mengatasi pengangguran, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Ketenagakerjaan untuk melakukan terobosan dengan membangun BLK Komunitas guna menciptakan tenaga trampil dan kompeten yang lebih besar lagi. Tujuannya tidak lain untuk mengatasi pengangguran, terutama masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah, hanya SD sampai SMA.

BLK Komunitas bukan dikelola oleh pemerintah melainkan diserahkan kepada lembaga swasta yang berminat mengelola BLK. Saat ini pengelolaan BLK Komunitas dilakukan oleh lembaga pendidikan atau lembaga keagamaan non pemerintah, serta konfederasi/federasi serikat pekerja/buruh. Karena itu lokasi BLK Komunitas kebanyakan di sekitar pondok pesantren, gereja, maupun di basis-basis pekerja, sehingga mudah diakses masyarakat.

Dalam program BLK Komunitas, Menaker meminta Dirjen Binalavotas untuk mengawal ketat semua prosesnya. Mulai dari pengajuan proposal hingga penetapan, serta proses pembangunan gedung workshop BLK Komunitas yang dilaksanakan secara transparan dan tidak dipungut biaya.

“Program ini murni bantuan pemerintah dan tidak boleh dipungut biaya serupiah pun. Mulai dari pembangunannya, pengadaan peralatan sampai meng-upgrade kapasitas pelatihnya atau instrukturnya sampai program pelatihan. Semua diberikan pemerintah gratis tanpa dipungut biaya sedikit pun,” tegas Menaker Ida Fauziyah belum lama ini.

Menurut informasi yang diperoleh Maritim ketika ikut memonitor pembangunan BLK Komunitas di beberapa daerah, untuk membangun satu unit BLK pemerintah menggelontorkan dana Rp1 milyar. Penggunaannya, dana Rp500 juta yang diberikan kepada lembaga penerima bantuan untuk membangun satu unit gedung workshop beserta peralatan pelatihan. Sedang Rp500 juta lagi untuk operasional kelembagaan, program pelatihan BLK Komunitas, dan program pelatihan bagi instruktur dan pengelola BLK Komunitas.

Kemiskinan ekstrim

Hingga tahun 2022, Kemnaker telah membangun 3.757 BLK Komunitas sebagai lembaga pelatihan berbasis masyarakat. BLK Komunitas ini menjadi solusi untuk mengatasi ketertinggalan sumberdaya manusia dan mengatasi kesenjangan kompetensi masyarakat di perdesaan dan wilayah-wilayah pinggiran.

Untuk 2022, Kemnaker telah membangun 846 BLK Komunitas. Peresmian 846 BLKK itu dilakukan oleh Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin di Yayasan Ponpes Manhalul Ma`arif Darek, Lombok Tengah, belum lama ini. Pemerintah, kata Wapres, terus mengupayakan berbagai strategi untuk memastikan sumber daya manusia Indonesia memiliki kualitas dan kapabilitas untuk beradaptasi dengan segala perubahan dan disrupsi yang mengikutinya, salah satunya melalui eksistensi BLK Komunitas.

Pendirian BLK Komunitas hingga menjangkau ke seluruh pelosok tanah air, dinilai Wapres akan memudahkan kelompok usia angkatan kerja dalam mengakses pelatihan kerja. Selain menekan angka pengangguran, penguatan dan perluasan pelatihan vokasi melalui BLK Komunitas utamanya diharapkan mampu menciptakan pekerja terampil yang berdaya saing.

Wapres berharap ke depan jumlah BLK Komunitas yang terbangun saat ini tidak hanya terus ditingkatkan, tetapi juga perlu diikuti kuantitas dan kualitas lulusannya, sehingga mampu berkompetisi di pasar dunia kerja domestik dan luar negeri.

Kementerian Ketenagakerjaan diminta mengarahkan program pembangunan BLK Komunitas di daerah-daerah yang menjadi titik kemiskinan ekstrem. Keberadaan BLK Komunitas hendaknya menjadi saluran dalam upaya reskilling dan upskilling sumber daya manusia Indonesia.

“Di wilayah yang betul-betul membutuhkan, eksistensi BLK harus mampu melahirkan tenaga kerja bermutu yang dapat berkontribusi mengungkit perekonomian lokal, dan pada akhirnya mempercepat tercapainya distribusi kesejahteraan,” tegasnya.

Peserta pelatihan di BLK Komunitas tidak dipungut biaya sampai mendapat sertifikat kompetensi. Selama 2 tahun Kemnaker masih melakukan pendapingan operasional. Namun di tahun berikutnya akan dilepas karena penyelenggara diyakini sudah bisa melakukan operasional BLK secara mandiri.

Program pelatihan vokasi di BLK Komunitas kini telah dikembangkan menjadi 24 kejuruan. Antara lain kejuruan teknologi informasi dan komunikasi, multimedia, menjahit, teknik otomotif, tata busana, tata rias, teknik las, pengolahan hasil pertanian atau perikanan, woodworking, refrigeration dan teknik listrik, industri kreatif, dan kejuruan bahasa asing.

Kejuruan pelatihan yang dikembangkan tidak hanya disesuaikan dengan kondisi terkini dan kebutuhan pasar kerja lokal atau link and match dengan industri sekitar, Tetapi juga perlu diciptakan upaya untuk mendorong minat masyarakat berwirausaha.

BLK Komunitas di pondok pesantren atau lembaga lainnya diyakini tidak akan terlantar setelah diserahkan pada pondok pesantren atau lembaga pengelolanya. Sebab BLK Komunitas dirancang sesuai kebutuhan dan dioperasikan oleh kelompok yang memang butuh pelatihan, seperti pondok pesantren, pihak gereja maupun serikat pekerja.

Bahkan pelatihan BLK Komunitas ini diyakini akan menjadi model penguatan akses pelatihan hingga tersedianya calon pekerja yang kompeten dan mudah masuk ke pasar kerja. (Purwanto).

 

Related posts