Industri pariwisata di kawasan Bali utara mulai menggeliat.
Erick Arhadita dari Maritim, merupakan saksi kunjungan
awal kapal cruise di Pelabuhan Celukanbawang. Catatannya:
TERNYATA, Bali bukan hanya Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan). Lebih-lebih ketika kini kawasan Ler Adri (utara bukit), memberi bukti bahwa Kabupaten Buleleng bukan hanya pantas disebut “bumi panas”. Sebab bila mencermati fenomena sisi industri pariwisata, kian tampak kawasan peninggalan Ki Barak Panji Sakti makin mengarah ke hot effort. Kalau pada masa lalu, obyek wisata Bali utara lebih diartikan dengan Museum Lontar Kirtya, Yeh Sanih dan Banyuwedang kini fokusnya sudah jauh berbeda..
Bicara masalah pariwisata di Bali utara, tak bisa lepas dari nama Anak Agung Nyoman Panji Tisna, Raja Buleleng dan sastrawan Pujangga Baru dengan karya-karya novel klasiknya di antaranya: “Sukreni Gadis Bali”, “I Swsta Setahun di Bedahulu”, “Ni Rawit Ceti Penjual Orang” dll, sebagai sosok pelopor pariwisata Bali utara. Raja yang bertahta tahun 1944 s/d 1947 dan bersambung di era kemerdekaan tahun 1950 s/d 1958 ini, wafat pada tahun 1978. Beliau adalah pendiri Resort Lovina yang nama dan keberadaannya tak luntur kendati telah dibangun hampir sekitar satu abad lalu.
Namun selewat inovasi beliau, Bali utara justru terkesan kian tersisih dari kelimpah ruahan industri pariwisata. Bersukur bahwa para sentana dan pelingsir puri keturunan Ki Panji Sakti pembangun kerajaan Buleleng, seperti IGN Ugrasena dari Puri Manggala dan IGN Sentanu dari Puri Ayudhia masih tetap berkomitmen mengembangkan pariwisata Bali utara. Yang paling “ramai” malah kasak-kusuk masyarakat dan Pemkab Buleleng yang bergumam: “Di luar Sarbagita, krama Bali hanya jadi penonton hiruk pikuk musik rock dan heavy metal sembari mendengar gemerincingnya dollar !”.
Kesulitan dalam membangun Buleleng, sering dihubungkan dengan adanya semacam peringatan niskala pada lokasi pintu masuk Kabupaten Buleleng, yang dari sisi barat sudah terkena Cekik, dari selatan akan di-Gi(t)git, sedang bila lewat sisi timur langsung di-Culik. Namun harus diketahui, tiga kata yang terkesan tenget (angker) itu, hanya nama-nama tempat di jalan masuk ke Kabupaten Buleleng, yang secara rasional dihubungkan dengan nasib suatu daerah dan penduduknya. Yang jelas, Kabupaten Buleleng yang mayoritas terdiri dari perbukitan dengan hutan-hutan tropis serta dataran sempit di sisi utara, hanya dapat dimanfaatkan menjadi lahan pertanian tadah hujan. Sungai-sungai “besar” (Banyupoh, Pancuran dan Daja) hanya alirkan air pada musim penghujan, sedang di musim kemarau menampilkan dasar sungai yang berbatu-batu.
Berkat ketekunan masyarakat yang memang berlatar kehidupan agraris, mulai tahun 1960-an, kawasan yang juga dikenal dengan sebutan Den Bukit itu mulai bisa diolah untuk ditanami hasil agro musiman seperti jeruk, vanili, anggur hingga tembakau dan di lereng-lereng bukit tumbuh pohon-pohon cengkih, rambutan, duku, kopi, dll. Dalam industri pariwisata, daerah Bali utara kurang mampu bersaing dengan Bali selatan. Kendala utama untuk mengunjungi Buleleng adalah akses jalan dan jembatan yang sempit. Bila masuk lewat jalur utara, selepas Banyupoh sudah harus menempuh ruas jalan yang rusak. Sedangkan bila lewat jalur selatan harus melalui perbukitan dengan jalan berliku, jurang menganga dan tanjakan terjal.
Bukannya tak ada niatan “menjual” obyek wisata yang ada di Bali utara, tetapi akibat “kalah start” dengan Bali selatan, maka Kabupaten Buleleng seakan tetap merupakan terra incognita. Seberkas harapan muncul, ketika penglingsir Puri Agung Buleleng mengijinkan Lovina dibangun menjadi resort yang mulai dikunjungi wisatawan mancanegara (wisman).
Keadaan makin berubah, ketika 22 Januari 2012 kapal pesiar MV “Seabourn Legend” untuk pertamakali sandar di dermaga pelabuhan Celukanbawang Kecamatan Gerogak Kabupaten Buleleng yang semula hanya dikenal sebagai terminal untuk pelayanan semen curah dan pangkalan kayu olahan. Kapal berukuran panjang 135 meter berbobot 10.000 GT yang mengangkut 212 wisman itu disambut Putu Bagiada, Bupati Buleleng kala itu.
Selepas kunjungan kapal cruise itu, merebak keinginan mengembangkan Bali utara sebagai destinasi wisata dengan perlbagai obyek yang tak kalah pamor dibanding yang ada di Bali selatan. Kemudian, selain terjadinya peningkatan jumlah kunjungan kapal cruise, juga muncul wacana membangun jalan lintas penghubung utara-selatan dan barat-timur. Bahkan yang mutakhir, muncul rencana membangun bandara baru di lepas pantai Kubutambahan.
Tampaknya, keinginan mengembangkan pariwisata di Bali utara, tak hanya sekedar angan-angan. Dari sisi kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pengguna kapal pesiar, Arief Yahya Menteri Pariwisata sebutkan bahwa Cruise Line International Association (CLIA) sekitar 172 kapal pesiar telah singgah di pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Menurutnya, Indonesia memiliki iklim menguntungkan untuk mengembangkan wisata kapal pesiar. Lewat rilis resmi ia jelaskan: “Indonesia merupakan negeri yang bersuhu hangat sepanjang tahun. Pantainya bagus, budayanya eksotik, dan kulinernya serba mengundang selera”.
Dalam pada itu, maskapai pelayaran Dream Cruises menyatakan bahwa kapal pesiar yang mereka operasikan akan membawa ribuan pelancong dari mancanegara ke Buleleng, Bali Utara. Nyoman Sutrisna Kepala Dinas Pariwisata Buleleng, membenarkan komitmen itu dan memberi konfirmasi: “Bali akan kedatangan kapal pesiar berukuran jumbo yang dalam setiap tripnya akan mengangkut ribuan wisman ke Buleleng, dengan sandar di Pelabuhan Celukanbawang. Bahkan, dalam laman resmi Dream Cruise sudah terpajang wilayah Bali Utara sebagai destinasi pelayaran wisata mereka”. (Bersambung)***