GUNUNG AGUNG (1): 50 TAHUN KEMUDIAN

Selama tiga hari, Erick Arhadita Wartawan Maritim yang kelahiran

Karangasem, Bali, lakukan eksplorasi terkait potensi bencana Gunung

Agung serta antisipasinya. Berikut laporannya dalam dua seri:   

GUNUNG Agung di Kabupaten Karangasem Bali, terakhir meletus pada 27 Januari 1963. Kendati terjadi 54 tahun silam, tetapi pengamat kegununganaian tetap menyebut sebagai “siklus 50 tahunan”. Dalam rentang waktu lebih dari setengah abad, telah terjadi perubahan besar di Bali. Apabila letusan kala itu mengakibatkan tewasnya 1.264 orang, diperkirakan andaikata kali ini Gunung Agung meletus sebagai suatu kemungkinan yang samasekali tak diharapkan, korban jiwa tak akan sebanyak dibanding letusan terdahulu. Halini dimungkinkan karena adanya faktor-faktor kecepatan tanggap bencana, kemudahan dalam komunikasi, ketersediaan logistik yang memadai serta perencanaan evakusi lewat darat, laut dan udara yang terorganisasi.

Namun, di balik itu semua dapat dipastikan, bila Gunung Agung meletus pada waktu dekat ini, maka kerugian harta benda akan jauh lebih tinggi. Sebab dalam rentang waktu 50 tahun terakhr ini telah terjadi peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat di wilayah yang berpotensi terdampak bencana. Bahkan di luar area terdampak yang ditetapkan berjarak pada radius 12-20 kilometer dari puncak Gunung Agung, yang dalam legenda Bali disebut Tolangkir, persemayaman para dewa yang bertugas menjaga keselamatan gumi Bali.

Upaya Kesiapsiagaan

Aktivitas Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali masih tinggi. Hasil pengamatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat terjadinya peningkatan kegempaan dalam tiga hari terakhir. Kasbani, Kepala PVMBG, Selasa 26/9/2017 mengatakan: “Rangkaian gempa terasa kian sering terjadi di sekitar Gunung Agung dengan jumlah kegempaan per hari dalam 3 hari terakhir terus mengalami peningkatan”.

Disebutkan, dari pukul 00.00-12.00 WITA telah terjadi 268 gempa Vulkanik Dalam (VA), 189 kali gempa Vulkanik Dangkal (VB), dan 38 kali gempa Tektonik Lokal.  Dibanding sebelumnya, laporan PVMBG sebutkan, pada 23 September 2017 terjadi 490 kali gempa VA, 172 kali gempa VB dan 51 kali Tektonik Lokal, sementara 24 September 2017 terjadi 570 kali VA, 350 kali VB dan 69 kali gempa Tektonik Lokal. Namun begitu, Kasbani jelaskan Gunung Agung masih berada pada fase transisi dari Kegempaan Dalam ke Kegempaan Dangkal (lebih dekat permukaan). Jarak waktu antara fase Kegempaan Dangkal ke fase Kegempaan Sangat Dangkal tak dapat dipastikan, begitu juga jangka waktu dari Kegempaan Sangat Dangkal ke fase Letusan. Ujar Kasbani: “Jarak waktu perubahan fase masih belum bisa ditentukan sebab belum ada catatan sejarah instrumental sebagai bandingan dengan sebelum terjadi letusan Gunung Agung di tahun 1963”.

Dari statistika gunungapi di dunia, jarak waktu dominannya dapat berlangsung dalam hitungan jam ataupun hari. Ada juga di beberapa gunung yang memiliki jarak waktu hingga hitungan bulan. Menurut Kasbani, berdasar kondisi itu, kemungkinan tak meletus masih ada. Yaitu jika energi kegempaan menurun terus hingga akhirnya stabil seperti pada saat kondisi normal. Namun, indikasi ke arah penurunan belum juga teramati hingga saat ini.

“Kita tentunya berharap yang terbaik namun juga harus siap dengan kemungkinan terburuk. Upaya-upaya koordinasi terus dilakukan oleh PVMBG-BG-KESDM ke stakeholders sebagai upaya kesiapsiagaan untuk pengurangan risiko bencana” jelas Kasbani.

Skenario perluasan wilayah bahaya jika letusan terjadi telah disiapkan. Skenario jika terjadi letusan adalah memperluas zona bahaya yaitu radius 12 km dari Puncak Gunung Agung dan jika diperlukan akan ditambah perluasan sektoral ke arah Utara-Timurlaut dan Tenggara-Selatan-Baratdaya sejauh 14 hingga 20 km dari Puncak Gunung Agung. Namun hal ini tentunya disesuaikan dengan estimasi potensi ancaman bahayanya. Jika hal itu terjadi maka pemantauan Gunungapi akan berpindah hingga ke Denpasar tatkala Tim Tanggap Darurat akan berupaya terus lakukan langkah-langkah strategis dari jarak lebih dekat namun tetap mengutamakan keselamatan.

Infrasruktur Terdampak

Dalam kesempatan terpisah, Ketut Darmawahana Kepala Balai Besar Penyelenggara Jalan Negara (BBPJN) VIII mengatakan telah melakukan inventarisasi infrastruktur yang kemungkinan terkena dampak apabila terjadi letusan Gunung Agung terutama luncuran lahar dingin. Prakiraan infrastruktur jalan dan jembatan yang terdampak yakni 61 km jalan nasional, 29 jembatan yang 8 di antaranya berada pada sungai utama. Jalan provinsi sepanjang 88 km dan 28 jembatan. Untuk jalan kabupaten yang akan terdampak 598 km dan 21 jembatan.

Infrastruktur air minum yang akan terdampak yakni SPAM Desa-desa Tianyar Timur,  Kubu, Sebudi, dan Selat. Untuk infrastruktur sumber daya air yang akan terkena dampak yakni 9 Daerah Akiran Sungai (DAS) di Tukad-tukad Unda, Buhu, Jangga, Batuniti, Nusu, Sringin/Daya, Ringuang, Peninggungan, Abu. Selain itu ada 12 embung, Sabodam 87, (22 di sungai utama), kantong lahar 5 lokasi, Bendung kewenangan pusat 8 lokasi, sawah 4270 Ha (DAS Unda), pipa transmisi air baku 78 km, reservoir 26 unit, SPAB Pedesaan 4 unit, mata Air / intake 3 lokasi dan sumur bor 42 lokasi.

Ktut Jayada Kepala BWS Bali katakan dari 12 embung di lereng sekitar Gunung Agung, 9 di antaranya berada dalam zona berbahaya hingga tak bisa dimanfaatkan maksimal untuk kebutuhan air bersih bagi pengungsi. Untuk itu, tim akan manfaatkan sistem air baku lokal di pengungsian seperti Manggis dan Ulakan. karena lokasi pengungsian yang tersebar, dalam kondisi tertentu akan dilakukan pengeboran untuk mendapatkan air. (Bersambung)***

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *