RI Rumuskan Peningkatan Keselamatan Pelayaran di Selat Malaka dan Singapura

Dirjen Kenavigasian Ditjen Hubla I Nyoman Sukayadnya (duduk di tengah) foto bersama peserta Focus Group Discussion di Batam.
Dirjen Kenavigasian Ditjen Hubla I Nyoman Sukayadnya (duduk di tengah) foto bersama peserta Focus Group Discussion di Batam.

BATAM, MARITIM.

Dalam rangka meningkatkan keamanan, keselamatan pelayaran, dan perlindungan lingkungan hidup di Selat Malaka dan Singapura, Direktorat Kenavigasian Ditjen Perhubungan Laut (Hubla) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Development of Safety Navigation and Marine Environmental Protection in The Straits of Malacca dan Singapore“ di Batam, pekan lalu.

Read More

Nara sumber yang dihadirkan antara lain ahli hukum internasional Prof. Hikmahanto Juwana, Gusman Catur Siswadi dan Kol (Laut) Kresno Buntoro.

Direktur Kenavigasian Ditjen Hubla Ir. Nyoman Sukayadnya dalam pembukaan FGD mengatakan, keberadaan Selat Malaka dan Singapura diapit tiga negara (Indonesia, Malaysia dan Singapura) merupakan pelayaran internasional yang tersibuk kedua di dunia. Indonesia sebagai negara maritim sangat berperan menyumbang pemikiran dengan membuat regulasi guna meningkatkan keselamatan bernavigasi atas kapal-kapal yang melintasi selat tersebut.

Dikatakan, pada pertemuan Tripartite Tecnical Expert Group (TTEG) di Langkawi (Malaysia) tahun 2014, usulan Indonesia disepakati untuk membuat kebijakan tentang keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan hidup di Selat Malaka dan Selat Singapura.

”Sebagai negara maritim kita harus punya rumusan tentang kebijakan keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim di selat Malaka dan Singapura,“ ujarnya.

Jalur ini dikenal sebagai lalu lintas kapal tersibuk kedua di dunia. Terbentang sepanjang 650 Notical Mile (NM) dari laut Andaman sampai Horsburgh, perairan ini memiliki banyak karisteristik yang mempengaruhi keselamatan pelayaran. Antara lain faktor perairan yang dangkal, banyaknya halangan dalam bernavigasi dan pasang surut yang tidak menentu.

Disamping itu, adanya pergeseran topografi bawah laut, keberadaan daerah penangkapan ikan, kerangka kapal, kabel dan pipa bawah laut, maupun konstruksi anjungan lepas pantai.

Untuk itu, lanjut Nyoman, perlu dibuat kajian menyeluruh dan terpadu dengan pengumpulan data yang akurat dan terukur. Rumusan dalam bentuk blue print (cetak biru) itu kemudian akan diimplementasikan dalam  peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik nasional maupun internasional.

Kepala Navigasi Kelas 1 Tanjungpinang Provinsi Kepri Reymon Ifan Sianturi kepada Maritim mengatakan, peserta FGD dari jajaran Direktorat Jendral Perhubungan Laut. Blueprint yang akan dibuat secara akurat dan terukur disesuaikan dengan regulasi yang berlaku di tingkat nasional maupun internasional.

Blueprint juga akan mengedepankan aspek keselamatan pelayaran di Selat Malaka dan Singapura sesuai perkembangan teknologi yang multi kualitas.

”Nantinya rumusan dan kajian akan dirampungkan konsultan dari Universitas Pelita Harapan beserta tenaga ahli dan teknis lainnya untuk dijadikan acuan,“ ujar Reymon.

Berdasarkan data, sekitar 90 ribu sampai 100 ribu kapal niaga per tahun melintasi jalur pelayaran tersebut. Mereka juga melintasi Pulau Nipah sebagai pulau terdepan Indonesia. Baik kapal dari barat ke timur, maupun dari timur ke barat.

Namun ironisnya, kapal-kapal niaga asing sedikit sekali yang masuk ke pelabuhan Batam. Kalau pun ada, menurut keterangan yang diperoleh Maritim, hanya kapal-kapal ukuran kecil yang masuk ke Batam. Pemilik kapal lebih nyaman bila singgah di pelabuhan Singapura atau Malaysia.

Amrullah.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *