KEBERHASILAN Indonesia dalam mengelola industri perikanan, tampaknya dapat diukur antara lain dengan akan adanya lima pembeli internasional yang saat ini tengah melakukan negosiasi dengan penjual di negeri ini. Kesepakatan yang akan segera terwujud, ditargetkan akan meningkatkan permintaan tuna dan cakalang tangkapan armada pole and line dan handline Indonesia setelah pelaku perikanan yang telah memiliki sertifikat Marine Stewardship Council (MSC). Selain itu, anggota Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI) bersama IPNLF akan bertemu dengan sepuluh buyers kunci pada kegiatan perdagangan dan konferensi seafood internasional. Martin Purves selaku Direktur Pelaksana International Pole & Line Foundation (IPNLF) mengatakan salah satu tujuan sertifikasi MSC adalah peningkatan permintaan internasional.
“Lima buyers internasional, dalam kapasitas masing-masing maupun secara kolektif, telah mengumumkan komitmen mereka untuk meningkatkan pembelian bahan baku dari perikanan pole and line dan handline Indonesia” kata Purves di Jakarta, pekan lalu.
Sertifikasi juga diharap menguatkan asosiasi industri penangkapan tuna secara satu persatu (one-by-one tuna industry), sebagai mekanisme mendorong anggota mengadopsi aturan kebijakan penangkapan ikan keberlanjutan (sustainable fishing) yang menjadi basis kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selama 2 tahun periode hibah Walton Family Foundation senilai US$1,1 juta, AP2HI dan IPNLF mendesain model pendapatan yang disesuaikan dengan target keuangan dalam rencana bisnis dan pendanaan sertifikasi MSC. Diharapkan pada gilirannya, anggota AP2HI akan dapat bertambah 15% dari 26 perusahaanyang elah bergabung saat ini.
Sejak 2014, IPNLF telah memainkan peran utama mengarahkan proyek perbaikan perikanan (FIP) tuna pole and line (huhate) dan handline (pancing ulur) nasional. Sampai saat ini, FIP telah mencapai kemajuan signifikan dalam pengumpulan data dan pemantauan, pendaftaran kapal dan pengembangan strategi penangkapan tuna, serta pengelolaan jenis ikan umpan. Dengan jumlah anggota hampir 50, jaringan IPNLF meliputi berbagai pelaku dalam rantai pasok, termasuk di dalamnya fihak asosiasi produsen, pengolah, pedagang, pengecer, dan penyedia jasa kuliner.
Mencermati fenomena yang terjadi saat ini, sertifikasi tuna dan cakalang tangkapan huhate dan pancing ulur akan dikebut dalam 2 tahun ke depan guna tingkatkan permintaan sekaligus mengerek harga. Langkah itu sekaligus menjadi jalan keluar di tengah penerapan tarif pungutan hasil perikanan (PHP) yang tinggi sejak akhir 2015, yang menekan margin usaha penangkapan ikan menggunakan huhate (pole and line) dan pancing ulur (handline).
Yanti Djuari, Ketua Umum Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI) katakan anggota asosiasi akan memenuhi ketentuan sertifikat Marine Stewardship Council (MSC) yang mengadopsi aspek keberlanjutan sehingga meningkatkan kepercayaan pasar. Proyek selama 2 tahun itu didanai oleh Walton Family Foundation senilai US$1,1 juta. International Pole & Line Foundation (IPNLF) akan menjadi fasilitator dan pengarah proyek sertifikasi itu. Ujar Yanti: “Permasalahan di nelayan pole and line ini terletak di biaya operasi, termasuk kebutuhan solar. Soal harga, marginnya juga sangat tipis. Makanya kami mencari alternatif bagaimana supaya menaikkan harga. Salah satu caranya ya dengan sertifikasi agar mendapat kepercayaan dari buyers”.
Lebih jauh, Yanti meyakini sertifikasi itu akan kian mengangkat permintaan terhadap produk tangkapan pole and line dan handline hingga harganya bisa 20% di atas harga pasar. Saat ini tanpa sertifikat, nelayan pole and line dan handline masih dapat menikmati harga premium 15% di atas harga pasar. Pembeli tuna dan cakalang pole and line dan handline selama ini adalah Eropa dan Jepang. “Benua Biru” sangat berminat terhadap tuna kaleng, sedangkan Jepang untuk ikan kayu (katshuobushi). Menurut dia, peningkatan harga penting untuk memperlebar marjin setelah pemerintah menaikkan tarif PHP 2 tahun lalu. Bahkan tarif kapal dengan alat penangkap ikan lebih ramah lingkungan justru lebih mahal sehingga bertolak belakang dengan prinsip keberlanjutan.
Dia memberi gambaran, tarif PHP pole and line Rp.953.100 per gros ton atau dua kali lipat dari tarif PHP purse seine pelagis kecil yang hanya Rp.441.675 per GT. Demikian pula pada tarif PHP handline yang mencapai Rp.680.340 per GT atau hampir 1,5 kali lipat dari tarif PHP tuna longline yang hanya Rp.552.750 per GT.
“Seharusnya ketika kita berbicara sustainability, itu selayak tarif pole and line yang jauh lebih murah dari purse seine pelagis kecil dan purse seine pelagis besar, agar terjadi pengalihan alat tangkap menjadi ramah lingkungan” ungkap Yanti pula.
AP2HI saat ini beranggotakan 26 perusahaan yang mencakup perusahaan penangkapan ikan dan pengolahan. Armada penangkapan yang dioperasikan mencapai 1.173 kapal yang 273 di antaranya kapal pole and line, sedangkan selebihnya handline. Area penangkapannya meliputi perairan Bitung, Flores, Maluku, dan Papua. Asosiasi itu mencatat produksi tuna dan cakalang anggota saat ini hanya 5.000 ton per tahun, merosot hampir 50% dari posisi saat alih muatan di tengah laut (transhipment) masih diperbolehkan. Adapun menurut data pemerintah, hasil tangkapan pole and line dan handline mencapai 139.000 ton per tahun.***ERICK A.M.