2018, Kebutuhan Gas Industri Diprediksi Naik 4,5%

Sekjen Kemenperin Haris Munandar didampingi Kepala Biro Hubungan Masyarakat Setia Utama dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Teddy C Sianturi berbincang-bincang dengan Sekjen Dewan Energi Nasional (DEN), Staf Ahli Bidang Investasi dan Pengembangan Infrastruktur Kementerian ESDM Prahoro Yulijanto Nurtjahyo dan Ketua Forwin Indra B Permana saat seminar nasional 'Outlook Ketahanan Energi untuk Mendukung Pertumbuhan Industri Nasional 2018'
Sekjen Kemenperin Haris Munandar disaksikan Staf Ahli Bidang Investasi dan Pengembangan Infrastruktur Kementerian ESDM Prahoro Yulijanto Nurtjahyo menerima cenderamata dari Ketua Forwin Indra B Permana saat menghadiri seminar nasional ‘Outlook Ketahanan Energi untuk Mendukung Pertumbuhan Industri Nasional 2018’

Jakarta, Maritim

Kebutuhan gas untuk industri manufaktur pada 2018 diprediksi naik 4,5% menjadi 867.071 million metric british thermal unit (mmbtu) dibanding tahun ini sebanyak 829.338 mmbtu. Jumlah ini setara 35% dari total konsumsi energi nasional.

“Sekitar 60-70% dari gas tersebut dikonsumsi oleh delapan sub sektor industri, yakni pupuk, petrokimia, pulp dan kertas, tekstil dan produk tekstil (TPT), semen, baja keramik, kelapa sawit, serta makanan dan minuman. Dari empat jenis energi yang dibutuhkan, yaitu BBM, listrik, gas, dan batubara, kebutuhan gas untuk industri merupakan kebutuhan yang paling besar. Terutama untuk kawasan industri prioritas dan proyek strategis nasional. Di mana energi terbesar yang dibutuhkan adalah energi listrik,” kata Sekjen Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Haris Munandat, saat seminar nasional ‘Outlook Ketahanan Energi untuk Mendukung Pertumbuhan Industri Nasional 2018’, yang diadakan Forum Wartawan Industri (Forwin), di Jakarta, Rabu (13/12).

Sementara di tempat sama, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri Hijau dan Lingkungan Hidup (KapuslitbangIHLH) Kemenperin, Teddy C Sianturi, menyatakan pihaknya sedang mengkaji pemberian insentif untuk meningkatkan kesadaran industri dalam menjaga lungkungan.

Saat ini, menurut Haris, pasokan gas industri masih belum cukup. Karena beberapa lapangan gas hasilnya tidak sesuai harapan. Sehingga sebagian gas industri masih perlu diimpor. Makanya kini industri menunggu kepastian penurunan harga gas. Terutama perusahaan swasta. Sebab sekarang baru tiga BUMN saja yang menikmati penurunan harga gas. Yaitu sektor pupuk, baja dan petrokimia. Sementara perusahaan swasta masih harus menunggu regulasi terbaru.

Ditambahkan, ada beberapa opsi untuk penurunan harga gas ini, seperti impor gas untuk kawasan industri. Langkah ini dapat membuat harga gas lebih kompetitif. Selain itu, pemerintah bisa mengurangi pemasukan dari penerimaan negara bukan pajak (PNPB).

“Tapi kini semua opsi itu masih belum ada putusan final. Sekarang kami sedang berjuang harga gas turun jadi US$ 6 per mmbtu. Kalau tidak bisa dipenuhi di dalam negeri, mungkin harus impor, ini yang terus dibahas,” katanya.

Kebutuhan gas industri sebesar 35% pada 2018 sesuai proyeksi pertumbuhan industri pengolahan non migas sebesar 5,67%.

Kapuslitbang Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Kemenperin, Teddy C Sianturi, mengatakan pihaknya kini sedang mengkaji pemberian insentif untuk meningkatkan kesadaran industri dalam menjaga lingkungan. Karena selama ini insentif yang dikeluarkan pemerintah belum mensyaratkan secara khusus kemampuan industri dalam menjaga lingkungan, seperti mengurangi emisi karbon. Karena itu, pihaknya tengah menggodok insentif untuk mendorong industri ramah lingkungan.

“Bagaimana mekanismenya masih kami lakukan kajian, jangan sampai salah tujuan, karena arahnya ke sustainability. Bukan yang lain,” ungkapnya.

Sekjen Kemenperin Haris Munandar didampingi Kepala Biro Hubungan Masyarakat Setia Utama dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Teddy C Sianturi berbincang-bincang dengan Sekjen Dewan Energi Nasional (DEN), Staf Ahli Bidang Investasi dan Pengembangan Infrastruktur Kementerian ESDM Prahoro Yulijanto Nurtjahyo dan Ketua Forwin Indra B Permana saat seminar nasional ‘Outlook Ketahanan Energi untuk Mendukung Pertumbuhan Industri Nasional 2018’

Sejak tahun lalu, ujar Teddy, Kemenperin telah memonitor efisiensi energi yang dilakukan oleh beberapa sektor industri. Seperti industri semen, makanan dan minuman, baja, petrokimia, dan sektor permesinan. Efisiensi yang dimonitor antara lain terkait dengan penggunaan listrik, bahan bakar dan air.

Dengan program ini diharapkan konsumsi energi konvensional industri ke depan dapat turun 15% hingga 25% dan penggunaan energi baru terbarukan dapat meningkat. Karena insentif itu salah satunya sebagai pendorong supaya industri bergairah mengurangi energi dari fosil.

Teddy menjelaskan, nantinya insentif tersebut bisa dalam bentuk fiskal maupun non fiskal sehingga pada 201sudah ada pembahasan yang bisa didiskusikan ke Kemenkeu. Tidak tertutup kemungkinan pula insentif untuk efisiensi tersebut dapat dimasukkan pada tax allowance yang tengah didorong oleh Kemenperin.

“Sebab efisiensi bisa masuk ke inovasi juga, misalnya, perusahaan menggunakan teknologi baru yang lebih hemat energi atau diversifikasi mesin peralatan,” tandasnya.

Seperti diketahui, Kemenperin kini tengah membahas insentif pemotongan pajak atau tax allowance berbasis inventasi inovasi, vokasi dan serapan tenaga kerja. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan pihaknya mengusulkan tax allowance sebesar 200% untuk pelaku industri yang berinventasi pada pendidikan vokasi dan 300% untuk investasi di inovasi. (M Raya Tuah)

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *