DENGAN mengedepankan prinsip transparansi terhadap proses dan tender kegiatan jasa logistik swasta yang beroperasi di Indonesia sesuai dengan prinsip Trade Facilitation Agrement (TFA) yang telah diratifikasi sejumlah negara di dunia, Indonesia akan berpeluang menekan perbandingan biaya logistik terhadap gross domestic product (GDP), rerata lebih dari 10%/tahun. Menurut Achmad Ridwan Tento, pengamat Kemaritiman dan Logistik dari Indonesian Maritime, Logistics & Transportation Watch (IMLOW), kini perbandingan biaya logistik terhadap GDP Indonesia sekitar 23%, dengan target pada 2018 turun ke 21%.
“Semestinya penurunan biaya logistik nasional itu bisa lebih besar, jika pemerintah menerapkan regulasi untuk mewujudkan transparansi logistik, yang merupakan salah satu pilar utama dalam Trade Facilitation Agrement (TFA) dalam beri jaminan kepada negara yang meratifikasinya.Dalamkaitan ini bahkan TFA menyebut penurunan hingga kisaran 14%-17,5%. Karena itu penurunan biaya logistik sulit tercapai sesuai harapan apabila transparasi bisnis bidang ini tak diaplikasikan. Kendati Indonesia belum meratifikasi TFA, tetapi prinsip transparansi sbaiknya diterapkan ke pengadaan jasa logistik oleh swasta, karena dengan prinsip ini biaya logistik jadi lebih efisien” jelas Achmad Ridwan.
Ridwan sebutkan, jasa logistik yang digunakan pemilik barang selama ini meliputi seluruh kegiatan yang dibutuhkan, mulai pengiriman hingga barang tiba ke gudang miliknya. Mulai port handling, delivery, ware housing hinggga ke document clearance. Menurutnya,
tender atau lelang pengadaan barang/jasa adalah bentuk transparansi dalam suatu proses. Instansi pemerintah, kementerian/lembaga/BUMN/BUMD kini sudah melaksanakan proses tender/lelang untuk tiap pengadaan barang/jasa yang dibutuhkan, termasuk bidang logsitik. Hal ini sesuai PP No:54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
“Tetapi hal itu belum berlaku di sektor swasta, yang untuk pengadaan jasa logistik masih menggunakan metode tertutup berupa penunjukan langsung, Untuk kegiatan logistik yang berhubungan dengan ekspor maupun impor di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta hingga kini didominasi perusahaan berkategori jalur prioritas. Dari 100% kegiatan ekspor/impor Indonesia saat ini, 65%-70% nya berada di pelabuhan Tanjung Priok. Dari jumlah itu, lebih dari 70% dilakukan perusahaan yang mendapat jalur prioritas yang sebagian besar adalah perusahaan terbuka” ujar Ridwan yang pernah menjabat Sekjen BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI).
Berdasar data, perusahaan yang mendapat fasilitas jalur prioritas dari Ditjen BC ada sekitar 100 perusahaan, hingga perusaahaan jalur prioritas tersebutl yang mendominasi kontribusi dalam perhitungan biaya logistik di Indonesia. Ridwan menyayangkan, dari sekian banyak perusahaan itu taklakukan tender/lelang terbuka yang transparan dalam mendapat sub kontraktor jasa logistik yang dibutuhkan. Di akhir penjelasan, Ridwan sebutkan berdasar kajian Imlow, pentingnya transparansi dalam kegiatan jasa logistik agar segala perhitungan jadi akuntable dan dapat dipertanggung jawabkan. Dengan transparansi segala sesuatunya menjadi terpercaya, dan hal ini penting terutama bagi perusahaan yang bersatus terbuka karena kepercayaan investor di bursa saham dapat terjaga.***ERICK A.M.