Jakarta, Maritim
Asosiasi Perusahaan Alat dan Mesin Pertanian Indonesia (Alsintani) menegaskan, optimalisasi penggunaan dan pengadaan alat serta mesin pertanian produksi dalam negeri diyakini bakal tidak akan tercapai maksimal sesuai harapan pemerintah.
“Pasalnya, di beberapa daerah disinyalir masih terjadi ‘hengky pengky’ (deal deal yang tidak sesuai dengan aturan main). Akibatnya, produk dalam negeri sering dikalahkan oleh produk impor asal China, karena persoalan harga yang lebih murah. Padahal, produk kita sudah memiliki tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 40%. Ini tidak bisa dibiarkan. Ini jelas kesalahan pemerintah setempat. Kok malah memenangkan produk alat mesin pertanian impor dari pada membeli produk dalam negeri,” tegas Ketua Umum Alsintani, Mindo Sianipar, pada kesempatan ‘Temu Usaha Alsintani, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian dalam rangka Optimalisasi Penggunaan dan Pengadaan Alat Mesin Pertanian Produksi Dalam Negeri Tahun 2017’, di Jakarta, kemarin.
Segala sesuatu yang menghambat dibelinya produk dalam negeri, menurut Mindo, akan berhadapan dengan Alsintani. Untuk itu, anggota Alsintani agar terus melalukan langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan, sehingga segala sesuatu yang menghambat dibelinya produk dalam negeri bisa dihindari bersama-sama.
“Karena kita berkumpul di Alsintani ini tujuannya untuk mengutamakan produk dalam negeri. Kita memang tidak menutup mata bahwa seluruh alat mesin pertanian sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Yang belum diproduksi di dalam negeri tentunya bisa diimpor. Tapi importasinya juga harus jelas. Saya minta, yang impor itu bukan pedagang, tapi produsen yang ada di wadah ini. Sehingga ke depan, bisa terjalin kerja sama bisnis dan transfer teknologi antara pihak luar dengan kita,” harapnya.
Anggota Komisi IV DPR asal Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menyampaikan bahwa hasil dari temu usaha ini akan segera dilaporkan pada Presiden Jokowi. Termasuk para menteri terkait dan menteri koordinator.
“Kenapa saya lapor Presiden Jokowi? Karena para menterinya tidak bisa mengeksekusi. Para menterinya ragu-ragu untuk membela produk dalam negeri. Saya melihat, untuk membela produk lokal di negeri kita sekarang diperlukan rasa nasionalisme yang kuat. Kenapa mereka ragu memutuskan, toh uang di anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN) itu kita yang punya kok, yang tujuannya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Kalau kita membeli harga yang murah terus dari luar negeri, industri kita kan tidak bisa terbangun, yang ujung-ujungnya industri kita bisa mati,” ucap Mindo.
Jadi, ungkap anggota DPR dari Dapil Jatim itu, prinsipnya produk dalam negeri harus diutamakan.
“Itu cara berpikir negeri ini. Uang (APBN-red) rakyat itu dipakai untuk mencerdaskan orang-orang Indonesia. Apa kita rela APBN itu dikucurkan untuk membangun pabrik di China sana,” tekan Mindo.
Di kesempatan sama, Sopar Sirait dari Direktorat Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian Kementerian Perindustrian menambahkan, diberlakukannya TKDN oleh pemerintah dimaksudkan untuk menghindari serbuan impor. Mengingat dari survei, saat ini capaian TKDN pada industri alat mesin pertanian dalam negeri relatif cukup tinggi sebesar 40%.
Ditambah, telah juga diterbitkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 16/2011 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan TKDN.
Namun begitu, standar produk alsintan umumnya sudah memiliki SNI, tapi pada kenyataannya di lapangan belum diaplikasikan. Terutama untuk produk-produk impor yang masih bersifat sukarela.
Faktor lain, balai uji di bawah Kementerian Perindustrian belum dapat mengimplementasikan keseluruhan SNI alsintan itu, sehingga SNI Wajib tidak dapat segera dilaksanakan.
“Saat ini, permasalahan yang sedang dihadapi oleh alsintani adalah serbuan impor, dengan harga yang lebih murah untuk produk sejenis. Di sisi lain, industri dalam negeri belum sepenuhnya dapat memasok kebutuhan alsintan dalam negeri. Khususnya yang berukuran besar seperti traktor roda empat dan combine harvester,” katanya.
Sementara Taufik dari Direktorat Mesin Pertanian Kementerian Pertanian menyebutkan, sejauh ini sedikit sekali proses transfer of technology (TOT) dari produk-produk impor ke dalam negeri. (M Raya Tuah)