BE BODAG: RAJA MATAHARI PERAIRAN NUSA PENIDA

Ikan mola-mola, ikon Nusa Penida

Toyapakeh Nusapenida – Maritim.

PRIMADONA industri pariwisata Bali, memang masih berkutat di wilayah Sarbagita (Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan). Namun beberpa wiayah kabupaten lain ternyata tak tinggal diam, seperti halnya Kabupaten Buleleng yang mulai mempromosikan keunggulan obyek wisata yang terdapat di Ler Adri, ditambah dengan memperjoangkan pembangunan bandara baru di Kubutambahan.
Akan halnya Kabupaten Klungkung, tak mau terpaku dengan obyek wisata tradisional yang selama ini bertumpu pada upaya “menjual” nilai budaya khas dan sejarah masa lalu yang tersimpan di Museum Kertaghosa. Dalam sepuluh tahun terakhir, Klungkung berusaha mendorong kepulauan Nusa Penida, menjadi satu pilihan kunjungan di luar Kuta, Jimbaran, Tanah Lot, Uluwatu dan Ubud. Untuk itu, kemudian Pemkab Klungkung mencanangkan pariwisata berkelanjutan di Nusa Penida yang meliputi kunjungan ke Penida, Lembongan dan Ceningan yang biasa disebut three sisters island. Ketiga pulau ini juga merupakan bagian dari kawasan segitiga karang dunia yang paling mudah diakses. Bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke Nusa Penida dapat menyeberang menggunakan speedboat dari pelabuhan Sanur atau Kusamba dan menggunakan Kapal Ferry dari Pelabuhan Padangbai dan Gunaksa.
Namun bila berkunjung ke Nusa Penida jangan langung membandingkan kondisinya dengan apa yang ada di pulau induk. Ketut Gunawan, Wakil Ketua PHRI Klungkung, mengaku pesatnya pertumbuhan pariwisata di Nusa Penida tak dibarengi kesiapan infrastruktur serta dukungan masyarakat. Secara akumulatif jumlah wisatawan yang datang ke Nusa Penida tiap hari diperkirakan mencapai jumlah 1.000-5.000 orang, dengan sebagian kecil wisatawan yang menginap sedang lainnya hanya berkunjung dan balik sore harinya. Padahal, Nusa
Penida mampu menampung wisatawan hingga 10.000 orang. Masalahannya terletak daya dukung dan infrastruktur listrik dan air bersih yang belum memadai.
Sebenarnya, biaya untuk berwisata di Nusa Penida terhitung cukup murah. Rerata tarif homestay berkisar Rp. 150,000 hingga Rp. 500,000 pada high season, sedang pada low season menurun mencapai kisaran Rp 50,000 – Rp 400,000. Khusus tarif bungalow berkisar Rp. 200,000 – Rp. 602,000 pada high seasons dan untuk low season menurun ke Rp. 100,000 – Rp 602,000. Tarif untuk villa saat high season berkisar antara Rp. 250.000 – Rp. 3.000.000 dan saat low seasonberkisar antara Rp. 150.000 – Rp. 3.000.000.
Nusa Penida menyajikan wisata relegi bagi wisatawan domestik dan wisata alam bawah laut. Di kawasan Nusa Penida terdapat 230,07 hektar hutan mangrove mayoritas di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. pada lokasi ini terdapat 13 jenis mangrove dan 7 jenis tumbuhan asosiasi. Selain itu juga dijumpai 5 jenis burung air dan 25 jenis burung darat yang dijumpai di sekitar mangrove. Nusa Penida juga memiliki 296 spesies karang keras dan 576 spesies ikan karang termasuk 5 jenis baru. Terdapat pula biota unik, seperti ikan molamola, pari manta, penyu, ikan napoleon, lumbalumba, paus, hiu paus hingga dugong. Kawasan Pulau Nusa Penida memiliki tebing-tebing karst yang eksotik dan pantai-pantai pasir putih yang elok dengan terumbu karang 1.419 hektar dan padang lamun seluas 108 hektar.
Salah satu tujuan wisatawan mancanegara, khususnya penyelam datang untuk berjumpa “raja matahari” di laut Nusa Penida, yaitu mola-mola (sunfish) jenis ikan purba yang berpenampilan sangar, tetapi ramah terhadap manusia. Warga Nusa Penida meyebut dengan nama “be bodag”. Keberadannya dianggap sebagai suatu keberuntungan, karena telah mengundang wisatawan ramai berkunjung dan memberi dampak ekonomi bagi warga. Sebutan “raja matahari” diberikan karena kawanan mola-mola sering ditemukan muncul ke permukaan laut untuk berjemur memulihkan suhu tubuh, setelah lama berada di perairan laut dalam. Selain itu, bentuk tubuhnya yang bulat juga identik dengan matahari. Di musim tertentu ikan mola-mola naik ke perairan dangkal membersihkan diri dari parasit, dibantu oleh ikan bendera (banner fish) dan ikan bidadari (angel fish).
Pada umumnya ikan mola-mola ini memiliki ukuran panjang tubuh sekitar 2 meter dan muncul di perairan Nusa Penida sekitar bulan Juli-Oktober. Saat itu, para penyelam dari seluruh dunia datang ke Nusa Penida untuk melihat ikan mola mola yang terdapat di beberapa titik penyelaman seperti Crystal Bay (Banjar Penida), Blue Corner (Jungut Batu), Ceningan Wall (Ceningan), Sental (Ped) dan Batu Abah (Pejukutan).
Berdasarkan pemantauan Coral Triangle Center(CTC), kemunculan mola-mola di perairan Nusa Penida selama 2016 menurun dibanding tahun 2015. Selama tahun 2016 hanya dijumpai 1-2 ikan mola yang muncul ke permukaan di beberapa lokasi. Sebelumnya rerata per-tahun jumlah kemunculan ikan laut dalam itu di tiap lokasi cleaning station bisa mencapai antara 2 – 4 ekor per kemunculan. Salah satu penyebab penurunan kemunculan jenis mola ramsay ini ialah kenaikan suhu perairan yang mencapai 25derajat Celcius.
Jika mola rerata muncul tiap 2-3 hari sekali, maka per lokasi setiap bulannya rerata muncul 20 – 40 ekor, dengan asumsi ikan mola yang muncul bukan individu yang sama. CTC bekerjasama dengan Murdoch University Australia melakukan penelitian dengan memasang satelite tagging pada mola-mola untuk mengetahui pola pergerakan dan jalur migrasinya. Studi lain yang juga dilakukan adalah mengenai daya dukung lingkungan (carrying capacity study) masing-masing lokasi penyelaman mola. Mengingat  pada musim mola ada sekitar 600-800 orang menyelam per hari di Nusa Penida, dikhawatirkan hal itu akan timbulkan ketidaknyamanan habitat bagi be-bodag.
Wisatawan yang datang ke Nusa Penida lebih banyak melakukan fun-dive di Crystal Bay dan Manta Point, daripada ke dive site lain. Selain fun-dive, mereka juga melakukan dive-course selain fun-dive. Jumlah wisatawan selam yang datang pada saat high season umumnya mencapai 2.700 orang tiap bulannya. Menurut survey, para penyelam datang ke Nusa Penida mayoritas ingin melihat keindahan bawah laut, berjumpa dengan Ikan Pari Manta dan sang raja bawah laut be bodag, alias ikan Mola-mola.
Sebenarnya, pariwisata di Nusa Penida tak hanya diwarnai dengan laut dan ikan. Bagi mereka yang memiliki minat dengan budaya dan kearipan lokal, dianjurkan untuk datang ke Nusa Penida jelang akhir tahun. Sebab pada tiap tanggal 6 hingga 9 Desember tiap tahun, di sini diselenggarakan Nusa Penida Festival dengan tema “Blue Parade Island”. Dalam NPF-4 yang digelar di pantai Mahagiri desa Jungutbatu Nusa Lembongan, dilakukan pagelaran tari massal Rejang Dewa yang dilakukan oleh 1.500 orang penari perempuan, mengiringi ritual Pakelem. Disusul gelaran tari sakral Sang Hyang Jaran sebagai manifestasi kehandalan kuda tunggangan pemucuk kerajaan Klungkung masa lalu.

Tari Rejang Dewa, bernuansa mistis

Berbeda dengan tari rejang penuh nuansa keagungan dan gebyar eksotika di Bali daratan, Rejang Dewa di Nusa Penida dilaksanakan dengan sederhana oleh para penari yang terdiri dari warga masyarakat agraris. Hal ini merupakan refleksi masa lalu Nusa Penida yang memang berbasis agraris. Bahkan menurut kepercayaan setempat, nenekmoyang penduduk Nusa Penida adalah para moncol yang diasingkan penguasa, karena berseberangan faham dengan pemegang tahta di Smarapura. Di balik itu semua, Nusa Penida masih diselimuti nuansa mistis dari masa kekuasaan Ratu Gede Mecaling di masa lalu.***ERICK A.M.

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *