Jakarta, Maritim
Kawasan industri Morowali yang dipelopori Tsingshan Bintang Delapan Group di Sulawesi Tengah terancam kehilangan investasi jika pemerintah tetap membuka keran ekspor ore dengan kadar nikel di bawah 1,7%.
“Keluarnya aturan seperti itu sempat membuat investor smelter, khususnya yang berasal dari Cihina ragu-ragu untuk melanjutkan investasinya di Morowali, karena investor merasa dibohongi pemerintah. Setelah mereka menggelontorkan uang banyak ke Morowali,” ungkap Presdir Thingshan Bintang Delapan Group, Alexander Barus, kepada wartawan, di Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jakarta, belum lama ini.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan aturan terkait hal tersebut pada 6 Nopember 2016.
“Investor kami ini begitu yakin setelah setelah implementasi UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Tapi sekarang kenyataan lain, kalau begitu untuk apa kami menaruh uang yang sangat besar di kawasan hutan seperti di Morowali,” tegas Alaxander Barus.
Menurut Alexander, investor China sengaja menanam investasi yang cukup besar di Morowali, karena negaranya sudah tidak bisa lagi mengimpor nikel dari Indonesia. Di mana ekspor nikel telah dilarang oleh pemerintah berdasarkan UU Minerba.
Akibatnya, banyak industri smelter di China menganggur, atau mencari pasokan bahan baku dari negara seperti Filipina dan Kaledonia Baru.
“Kami sangat menyayangkan keluarnya kebijakan Peraturan Menteri ESDM tersebut. Karena regulasi ekspor seperti itu mendorong investor China menghentikan operasional pabriknya di Morowali. Apalagi, Filipina juga telah menutup kegiatan ekspor ore nikel,” ujarnya.
Dari pada meneruskan operasinya di Indonesia, tambahnya, lebih baik ekspor saja nikel kadar rendah ke China. Karena di sana banyak industri smelter yang menganggur.
“Tapi untungnya sampai sekarang mereka masih tetap komit untuk investasi di Indonesia. Karena saya kuatir, jika ekspor nikel kadar rendah ini bisa mematikan proyek perusahaan mereka untuk memproduksi baja anti karat (stainless steel),” ucapnya.
Alexander menjelaskan, saat ini perseroan PT Tsingshan Steel Indonesia (TSI) sedang melakukan uji coba pengolahan nikel kadar rendah, dengan kadar 1 hingga 1,2%. Proyek ini diharapkan bisa menghasilkan nickel pig iron (NPI) sebesar 500.000 metrik ton (MT).
Rencananya, produksi dari NPI ini akan dijadikan bahan baku (feed) bagi proyek stainless steel seri 200, dengan kapasitas 2 juta MT. Sehingga, jika pemerintah membuka keran ekspor nikel kadar rendah, maka itu akan mengganggu pasokan smelter TSI dan mengurangi feed bagi proyek stainless steel di Morowali.
“Kalau nikel kadar rendah tetap diekspor, maka investasi stainless steel seri 200 jadi gagal. Padahal, kebutuhan stainless steel kita begitu besar. Kami masih menimbang-nimbang langkah selanjutnya proyek tersebut,” ungkap Alexander.
Untuk itu, Alexander berharap, pemerintah bisa membatalkan peraturan ekspor tersebut. Karena bertentangan dengan UU Minerba. (M Raya Tuah)