Stop Impor Agar Industri Perkapalan Nasional Mandiri dan Berdaulat

ilustrasi
ilustrasi

Jakarta, Maritim

Pemerintah ke depan harus segera mengeluarkan kebijakan penghentian impor kapal sementara waktu. Di sisi lain, pemerintah juga harus mengeluarkan instrumen insentif bunga murah dan nyaman bagi industri pelayaran nasional, sehingga industri ini berani memutuskan membangun armada angkutnya hanya pada galangan kapal di dalam negeri.

Read More

“Pemerintah harus mengeluarkan dua kebijakan itu secara bersamaan, agar industri perkapalan nasional tidak semakin terpuruk kondisinya, apalagi di tengah-tengah serbuan impor kapal yang makin marak belakangan ini,” tegas Presiden Direktur PT Dok Bahari Nusantara (DBN), Sophan Sophian, saat berbincang-bincang dengan tabloidmaritim.com, di Jakarta, baru-baru ini.

Tidak ada cara lain, sambungnya, pemerintah harus terbitkan dua opsi kebijakan penting itu segera.

“Saya kira itu solusi paling ideal sekarang ini. Karena hanya dengan cara itu, industri perkapalan kita bisa bangkit, sementara industri pendukungnya juga akan tumbuh di mana-mana. Tidak ada cara lain, agar kita mandiri dan berdaulat sebagai negara maritim, yang tidak hanya mau dijadikan pasar,” ungkapnya, yang menyebutkan, langkahnya itu sebagai asas cabotage jilid II.

Anak muda ini menilai, impor kapal itu bukan selamanya, tapi hanya 10-15 tahun. Agar Indonesia mampu mempersiapkan diri sebagai negara maritim yang mandiri dan berdaulat. Khususnya pada industri perkapalan. Karena geliat industri perkapalan berdampak multiplier effect bagi berbagai sektor lainnya. Apalagi, industri perkapalan padat modal dan padat teknologi, di mana kalau tidak disiapkan sejak dini bakal tidak mampu bersaing dengan galangan luar negeri ke depannya.

Dalam 10 tahun, lanjutnya, pemerintah dan para stakeholder menyiapkan industri ini agar mandiri dan berdaulat. Sehingga ke depannya mampu berdaya saing dengan negara-negara lain yang sudah lebih dahulu hadir.

“Jadi, penghentian impor kapal sementara itu maksudnya agar kita mandiri dan berdaulat sebagai negara maritim. Harga kapal kita mencapai tingkat keekonomian yang cukup. Kita mandiri pada industri mesin induk kapal, alat navigasi, alat komunikasi dan lain sebagainya. Bukan seperti sekarang, 70% kebutuhan untuk membangun kapal baru di dalam negeri harus didatangkan dari luar negeri, sementara sisanya untuk plat baja dan tenaga kerja dari lokal,” ujarnya.

Seperti diketahui, sejak pemerintah menerbitkan asas cabotage Inpres No 5 tahun 2005 dan diperkuat UU No 7 tahun 2008, sukses besar dialami industri perkapalan. Di mana jumlah kapal yang lalu lalang di wilayah perairan Indonesia membengkak jadi 40.000 unit sampai sekarang. Kapal-kapal asing tidak diizinkan berlayar di wilayah Indonesia. Terkecuali hanya berbendera Indonesia.

Tapi sayang, jumlah 40.000 unit kapal itu sebagian besarnya kapal impor dan kondisinya sudah tua. Bahkan, industri pelayaran dan BUMN sampai sekarang masih hobi beli kapal bekas, dengan alasan harganya murah dan modal kerja cepat kembali. Sedangkan jika beli dari dalam negeri harga mahal. Akibatnya, potensi pengerjaan kapal di dalam negeri yang cukup besar tidak tersentuh. Maka wajarlah kalau kemudian Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) kerap berteriak lantang tatkala industri pelayaran dan BUMN memasukkan kapal ke Tanah Air.

Sophan melihat, industri maritim nasional usianya masih sangat muda dan belum tereksploitasi secara maksimal, baru mau berkembang. Yakni, berusia 12 tahun sejak asas cabotage ditertibkan. Tapi ke depan, pemerintah perlu segera turun tangan membenahi industri perkapalan, sebab tanpa dukungan pemerintah industri ini tidak bisa tumbuh. Apalagi, berkembang dan maju.

“Apa kita mau selamanya di suplai kapal asing. Sekarang yang berat itu, kita disuruh bersaing dengan produsen kapal asing yang sudah maju, sedangkan pemerintah tidak mengulurkan tangannya memberi perlindungan. Ini kan tidak adil namanya. Kalau industri perkapalan maju, otomatis industri komponen dan pendukung lain juga ikut terkerek, baru setelah pesanan kapal banyak dan mencapai tingkat keekonomian yang cukup silakan pemerintah kembali membuka kran impor. Sebab kita sudah siap bersaing dengan galangan kapal asing,” pinta Sophan.

Jadi, tambahnya, tidak dihentikan total. Dalam 10 tahun itu galangan berbenah diri dan menyiapkan investasi alat kerja, teknologi tinggi dan permodalan. Agar siap melawan persaingan.

“Sekarang ini order yang kami terima dari Kemenhub hanyalah menguntungkan asing. Karena kita masih mengimpor 70% dari mereka. Akibatnya, pesanan yang kami kerjakan sama sekali tidak signifikan bagi industri lokal. Apalagi, tidak ada kontinuitas pesanan dari pemerintah. Kita ini sudah jadi pasar asing, kenapa pasar itu tidak kita ambil sendiri, kenapa pasar itu dibiarkan untuk asing. Padahal, menurut BKI, kita bisa bangun semua jenis kapal. Termasuk yang sophisticated sekalipun. Asal diberi kesempatan dan kepercayaan. Bukan seperti sekarang, kesempatan dan kepercayaan itu masih setengah hati,” ungkap Sophan, yang menyebut, industri perkapalan saat ini tak lebih hanya sebagai perakit dan tukang jahit saja.

Dia juga menyatakan keheranannya, kenapa pemerintah sampai sekarang belum berbuat sesuatu yang fundamental bagi industri maritim nasional, khususnya industri perkapalan lokal.

“Apa banyak kepentingan di dalamnya atau pemerintah melihat industri ini memang belum prioritas. Sekarang tinggal pejabat-pejabat di atas saja. Apa masih punya kemauan yang kuat tidak membenahinya,” jelas Sophan, yang bercita-cita suatu hari kelak Indonesia mampu jadi negara produsen dan eksportir kapal.

Namun di balik berbagai keluhan itu, orang pertama galangan kapal domestik yang bermarkas di Cirebon ini menyatakan keyakinannya, bahwa tetap optimistis industri maritim akan berkembang suatu hari nanti. Makanya sekarang dibutuhkan terbitnya asas cabotage jilid II. Yaitu, tutup kran impor untuk sementara waktu. (M Raya Tuah)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *