KETIKA sekitar satu abad yang lalu Ir. WB van Goor, Prof. DR Kraus dan GJ de Jog ditugaskan membangun Pelabuhan Tanjung Perak, mungkin fokus pemikirannya terbatas membangun fasilitas pelabuhan. Tujuannya, agar kapal-kapal ocean going yang kian banyak berkunjung tak lagi berlabuh di perairan Selat Madura, tetapi dapat langsung bertambat di Wilhelmina Kade, untuk membongkar muat barang impor/ekspor dan embarkasi/debarkasi penumpang. Tentunya mereka juga tak perlu pikirkan back-up area dan hinterland yang padat industri, hingga angkutan barang tak terhambat oleh kepadatan lalulintas Jalan Gresik, gerbang tol maupun kemacetan rutin di sekitar pertigaan Margomulyo hingga Tambakoso Wilangon.
Memasuki dekade tahun 70-an, ketika Surabaya Indusrial Estate Rungkut (SIER), Kawasan Industri Ngoro, Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER) serta membeludagnya komoditas ekspor yang juga memerlukan bahan penolong dari importasi yang kesemuanya harus lewat Pelabuhan Tanjung Perak, mulailah muncul “hantu” kemacetan. Kongesti juga kian menjadi ancaman, mengingat PT Pelabuhan Indonesia III (Persero)/Pelindo III terus mengembangkan Pelabuhan Tajung Perak, hingga yang mutakhir terwujud Terminal Teluk Lamong dengan prediksi akan mampu melayani petikemas hingga mencapai throughput 6,5 juta TEU’s.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: kalau dengan total throughput TPS, Nilam dan TTL sebesar 3 juta TEU’ saja sudah “gak ketulungan”, bagaimana dengan kedepan nanti ?
Tetapi Manajemen Pelindo III yang tengah bersemangat lakukan berbagai inovasi, ternyata telah menyusun jurus pamungkas. Selain membangun akses jalan darat plus flyover menuju jalan tol Surabaya-Gresik, dalam masa 1-2 bulan mendatang, Pelindo III akan membangun Integrated Container Movers (ICM) di kawasan Pelabuhan Tanjung Perak. Fasilitas ini akan dibangun di atas perairan Selat Madura hingga perpindahan petikemas antar terminal di Pelabuhan Tanjung Perak tidak lagi menggunakan truk lewat jalur darat. Groundbreaking dijadwalkan akan dilaksanakan pada Mei 2018 atau Juni 2018.
I Gusti Ngurah Ashkara Danadiputra, CEO Pelindo III yang akrab disapa dengan panggilan Ari Ashkara jelaskan, penggunaan ICM yang berkonstruksi semacam kereta layang (sky train), memungkinkan perpindahan petikemas antar terminal hanya perlu waktu 20 menit.Ujarnya: “Fasilitas ICM akan menjadi terobosan memangkas waktu dan biaya pergerakan petikemas. Penggunaan truk akan jauh berkurang. Kalau selama ini dengan gunakan truk perlu waktu tempuh 8 jam, kedepan nanti dengan ICM hanya perlu 20 menit”.
Di Pelabuhan Tanjung Perak saat ini trdapat terminal-terminal Petikemas Surabaya (TPS), Terminal Teluk Lamong (TTL), Jamrud, Nilam, Berlian, Mirah dan Kalimas. Untuk saat ini, petikemas dari TTL harus lewat jalur darat memutar sekitar 15 km agar sampai di terminal lain. Kedepan, pemilik barang dan perusahaan pelayaran dapat berhemat karena moda angkutan ICM menggunakan kereta yang tidak memiliki hambatan lalu lintas seperti hanya angkutan darat. Dengan menggunakan ICM, biaya angkut petikemas juga akan lebih murah, sekitar Rp.350.000 untuk satu boks petikemas, tiga kali lebih murah dibanding dengan truk.
Pelindo III akan jadi yang pertama menerapkan teknologi ICM di Indonesia. Bahkan, fasilitas ICM yang dibangun di atas laut bakal menjadi yang pertama di dunia. Teknologi ICM saat ini digunakan oleh DP World di Pelabuhan Jebel Ali, Uni Emirat Arab. Pelindo III menggandeng perusahaan asal Belarusia untuk menggarap proyek ICM senilai Rp2,3 triliun. Diperkirakan konstruksi akan selesai 18 bulan, dan Pelindo III akan memegang hak paten ICM bersama mitranya dengan komposisi 50:50. ***ERICK A.M.