Kehadiran Container Freight Station (CFS) Center di pelabuhan Tanjung Priok yang lahir sekitar 6 bulan lalu, menjadi perhatian bagi pelaku bisnis kepelabunanan, khususnya importir dan eksportir. Guna meyakinkan pengusaha akan kehadiran fasilitas itu akan menurunkan biaya logistic, maka hari ini (11/4) di Sunlake Hotel Sunter Jakarta Utara, pihak Pelindo II Priok, pelaku usaha mengadakan acara dialog yang dikemas dengan acara FGD “Membedah peran CFS Center dalam menurunkan biaya logistic di pelabuhan”. Acara diselenggarakan oleh Forum Wartawan Maritim Indonesia (FORWAMI).
Sasarannya, kehadiran CFS Center mampu menjadi solusi biaya bagi kontainer impor yang berstatus less than container load (LCL) yang masih dalam pengawasan kepabeanan yang selama ini dinilai high cost.
Direktur SDM dan Umum PT Pelindo II, Rizal Ariansyah saat membuka FGD grup discussion bertema Membedah Peran CFS Center Dalam Menurunkan Biaya Logistik di Pelabuhan, mengakui jika keberadaan CFS Center belum tersosialisasikan dengan baik kepada para pengguna jasa.
Karena itu, ujarnya, melalui sosialisasi ini, diharapkan dapat menghasilkan sesuatu yang mengarah pada perbaikan. “Kami menunggu masukan dari stakeholders agar kedepan bisa lebih baik lagi, dan nantinya akan membawa kebaikan bagi logistik nasional,” kata Rizal pada sambutannya, Rabu pagi (11/4), di Sunlake Hotel, Jakarta Utara.
Sedangkan Guna dari Pelindo Cabang Tanjung Priok menyatakan, bahwa CFS Center saat ini dikelola oleh PT MTI dan Agung Raya (APW). “Pada dasarnya CFS Center memberikan layanan yang transparan, efisien, mudah, cepat, dan murah,” ungkap Guna.
Menanggapi mahalnya cost untuk kontainer berstatus LCL tersebut, Guna mengatakan, bahwa tarif yang dikenakan oleh pengelola CFS Center ini hanya komponen RDM dan penumpukan.
Sementara dari Bea Cukai, Habib mengemukakan, jika CFS Center itu sama saja dengan TPS-TPS di lini 2. “Tidak ada perbedaan antara CFS center dengan TPS. Yang penting bukan pada istilahnya, tapi nilai tambah apa yang dapat diberikan oleh pengelola CFS Center kepada pengguna jasanya,” ujar Habib.
Menurut dia, volume kontainer LCL di Tanjung Priok hanya berkisar antara 2800-2900 TEUs per bulan, atau hanya 2-3% dari total kontainer impor LCL di Priok yang tercatat 2 juta TEus per tahun. Sedangkan ekspornya sekitar 4 juta TEUs.
Adanya CFS Center, pihak Bea Cukai mengusulkan, agar layanan lebih mudah, pengawasan menjadi satu titik (one stop service), transparan, dan ada keseragaman biaya.
Di tempat sama, Ketua Umum Ikatan Eksportir dan Importir Indonesia, Amalia berharap dengan adanya CFS Center ini, akan ada keseragaman tarif. Karena dia mengaku cukup trauma dengan kenakalan yang dilakukan oknum forwarder, sehingga biaya kontainer (barang) yang digudangkan di TPS atau CFS Center tidak mahal.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum DPP ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi menegaskan, jika memang ada forwarder anggotanya yang nakal, Yukki minta supaya tidak usah lagi memakai jasanya. “Kalau perlu saya minta regulator untuk menindaknya, sepanjang forwarder itu anggota ALFI, kami akan selesaikan,” katanya.
Kepala Bidang Lala Kantor OP Priok, Hotman menyatakan, CFS Center sebenarnya sudah tercantum dalam RIP tahun 2012 lalu. “Tapi sekarang sudah diusulkan di RIP (rencana induk pelabuhan) yang baru. CFS Center sudah mendapat persetujuan dari OP dan Bea Cukai,” ucapnya.
Capt. Supriyanto dari INSA mengatakan, sangat apresiatif terhadap beroperasinya CFS Center. “Kami berharap, dengan CFS Center ini, biaya menjadi transparan, urusan jadi mudah, biaya juga murah,” ujarnya.
*Hbb