Yogyakarta, Maritim
DISEBABKAN karena adanya praktik penyelundupan bibit lobster ke negara lain, maka produksi lobster Indonesia yang dulunya berjaya, kini terus menurun. Akibatnya ekspor lobster, jadi kian lesu. Terkait dengan kasus ini, ada dugaan sementara aparat ikut “main” pada praktik kotor tersebut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Hotel Grand Inna Malioboro, Rabu lalu berucap: “Saya berharap di DIY tidak ada pengambilan bibit lobster. Saya hanya bisa lakukan pengawasan di bandara, itu pun kalau ketahuan. Kalau tidak ketahuan, ya “amblas”. Negara Vietnam yang dulunya tak punya lobster, sementara Indonesia eskpor 8.000 sampai 30.000 ton sampai dengan tahun 2.000-an, sekarang hanya mampu mengekspor 300 – 1.000 ton. Kemudian ekspor lobster dari Vietnam sekarang mencapai 30.000 ton”.
Pada kesempatan itu, Doctor (HC) Susi sebuitkan, penyelundupan bibit lobster benar-benar menghilangkan potensi perikanan Indonesia. Sebab, harganya mencapai US$30 sampai US$300 per kilogram. Orang yang mengambil telur lobster bukanlah nelayan, tapi pemuda-pemuda yang dibayar oleh para mafia penyelundup bibit lobster. Menurutnya, praktik ini sulit dihilangkan karena tawaran uang yang tinggi. Selain itu, aparat dari pegawai KKP maupun penegak hukum, diduga ikut bermain.
Pengambilan bibit lobster dari habitatnya, ujar Menteri KP, menggunakan kertas dan lampu, hingga yang terjaring bisa ribuan ekor. Akibatnya, nelayan susah mencari lobster. Bahkan, di daerah yang dulu mudah mendapat lobster, seperti Sadeng dan Pacitan, sekarang untuk kumpulkan 100 kilogram saja cukup susah.
Memungkasi perbioncangan, Men KP berucap: “Di Sadeng 20 tahun lalu, waktu saya masih kerja di perikanan, satu hari bisa menfgumpulkan tiga sampai lima kuintal bibit lobster. Kalau di hitung waktu itu harganya Rp200.000 ribu. Jadi dalam sehari bisa dapat Rp60 juta. Namun sekarang habis karena bibitnya diambil. Karenanya, saya berharap agar semua fihak memeliki kemauan keras untuk menjaga lobster di perairan kita”. ***ERICK ARHADITA