Seringkali penulis mendengar cerita, jika dimasa lalu kalangan pengguna jasa justru merasakan kecemasan saat berurusan dengan layanan jasa kepelabuhanan di tanah air.
Pasalnya, kala itu pelabuhan-pelabuhan di Indonesia termasuk di pelabuhan Tanjung Priok-pun belum mampu memberikan layanan sebagaimana tuntutan pengguna jasanya.
Bahkan, Priok sebagai pelabuhan tersibuk yang menangani lebih dari 65% aktivitas ekspor impor nasional itu juga tak lepas dari stigma miring lantaran wajah pelabuhan justru terkesan angker dan semerawut.
Belum lagi cerita kecemasan pemilik barang makin menjadi ketika itu, akibat kargo yang diangkutnya dipreteli saat keluar pelabuhan oleh preman atau asmoro (istilah di Priok). Didalam pelabuhan banyak orang tidak berkepentingan hilir mudik, bahkan sempat ada istilah menjamurnya perusahaan pengurusan jasa terkait yang berkantor dibawah pohon rindang.
Seiring dengan waktu,stigma tak sedap terhadap wajah pelabuhan tersibuk di Indonesia itu membaik pasca sterilisasi fasilitas pelabuhan lewat implementasi standar keamanan dan keselamatan sesuai International Ship and Port Security Code (ISPS) yang diamanatkan International Maritime Organization (IMO).
Tak hanya itu, berbagai upaya pembenahan dari hulu ke hilir layanan jasa kepelabuhanan juga terus dipacu oleh PT.Pelabuhan Indonesia II/IPC dengan menyodorkan platform digital bagi pengguna jasanya.
Platform itu menghilangkan kontak fisik (tatap muka) sejak pengajuan dokumen kapal sandar, bongkar muat, proses distribusi kargo keluar pelabuhan, mengecek posisi barang hingga pada proses pembayaran jasa kepelabuhanan yang saat ini cukup dilakukan lewat perangkat seluler.
Apa yang telah dilakukan BUMN jasa kepelabuhanan tersebut mendapat apresiasi berbagai kalangan. Bahkan, pada Oktober lalu, PT Pelindo II/ IPC diganjar dengan empat penghargaan sekaligus pada ajang DataGov AI 2018, untuk kategori ‘best IT & data technology governance’ atau tehnologi informasi dan tata kelola data terbaik.
DataGovAI Award 2018 merupakan penghargaan yang diberikan kepada kalangan dunia usaha serta institusi yang sukses menerapkan tata kelola tehnologi informasi dan transformasi menghadapi disrupsi digital maupun ledakan data di era ini.
Elvyn G. Masassya selaku Direktur Utama Pelindo II/IPC, pada event yang diadakan oleh Asosiasi Big data & AI (ABDI) itu dianugerahi gelar CEO terbaik berkat komitmennya untuk terus meningkatkan tata kelola tehnologi informasi di lingkungan korporasi.
Dimotori ABDI, ajang DataGov AI 2018 itu merupakan kerja bareng dengan majalah/portal Komite.ID dan SingEX (PT Omni eComm Expo) Singapore Event Manager, dengan dukungan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kementerian Perindustrian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan advisor berbagai asosiasi & enterprise dalam dan luar negeri.
IPC selaku BUMN terbesar bidang jasa kepelabuhanan di Indonesia patut berbangga atas capaian secara korporasi dalam mengemas teknologi informasi, tata kelola, keamanan data maupun penyajian layanan berbasis IT untuk mendukung data infrastruktur.
Manajemem IPC juga sangat berkepentingan meningkatkan kualitas tata kelola sistem IT-nya, yang menjadi tulang punggung dalam menerapkan digitalisasi di semua lini pelayanan. Hal ini sejalan dengan visi perseroan untuk menjadi operator pelabuhan kelas dunia yang unggul dalam operasional dan modern.
BUMN itu juga meyakinkan posisinya akan terus berupaya agar operasional dan pelayanannya menjadi lebih cepat, lebih mudah dan juga lebih murah bagi customer.
Sebagai ilustrasi, PT.Pelindo II/IPC mengelola 12 cabang pelabuhan yakni di Tanjung Priok, Palembang, Pontianak, Teluk Bayur Padang, Banten, Bengkulu, Cirebon, Jambi, Pangkal Balam, Sunda Kelapa, dan Tanjung Pandan.
Untuk di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta telah tersedia fasilitas layanan pembiayaan jasa kepelabuhan (port service financing/PSF) agar mempermudah konsumen melakukan pembayaran.
Layanan ini menjamin kepastian transaksi atas jasa kepelabuhanan yang dikelola IPC selama 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu, tanpa tergantung lagi pada ketersediaan uang tunai pengguna jasa.
Selain di pelabuhan Tanjung Priok, layanan berbasis digital telah dimplementasikan pertukaran data manifest peti kemas secara daring atau TPS online di sejumlah terminal peti kemas yang dikelola perseroan, antara lain; pelabuhan Banten, Pontianak, Palembang dan di pelabuhan Panjang Bandar Lampung.
RESPON PEBISNIS
Kalangan pebisnis merespon langkah IPC mencanangkan era baru layanan jasa kepelabuhanan pada lingkup wilayah kerja operasional yang dikelolanya.
Transformasi layanan dari yang semula manual menuju berbasis digital telah dilakukan Pelindo II/IPC pada sejumlah pelabuhan untuk urusan pengapalan ekspor, impor maupun domestik.
Dengan transformasi itu, pelaku bisnis dapat mereduksi cost operasional lantaran dapat meminimalisir SDM lapangannya untuk kegiatan pembayaran jasa bongkar muat atau terminal handling charge (THC), cetak kartu ekspor dan impor (TILA) maupun jasa-jasa lainnya di pelabuhan.
“Kalau dari sisi layanan pelabuhan, semuanya sudah bank to bank, untuk aktivitas pembayaran cukup dilakukan didepan komputer atau perangkat henpon saja, dan ini memudahkan bagi pebisnis,” ucap Tjejep Zahrudin, Dirut PT Tenders Marine Indonesia (TMI)-salah satu pegiat logistik ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta kepada penulis, belum lama ini.
Kendati begitu, pria yang mengaku sudah lebih dari 25 tahun menggeluti bisnis kepelabuhanan ini mengharapkan langkah transformasi layanan berbasis digital di pelabuhan diikuti juga oleh seluruh entitas bisnis terkait seperti operator trucking, depo dan pergudangan, forwarder maupun perusahaan pelayaran pendukung jasa kepelabuhanan.
Saat ini diperlukan integrasi sistem pelayanan antara operator pelabuhan dengan entitas bisnis pendukungnya supaya lebih memudahkan para pebisnis memprediksi biaya penanganan logistik dari awal pengemasan sampai tujuan akhir atau hingga kegudang pemilik alias end to end service.
Pebisnis meyakini, integrasi melalui sistem satu atap layanan tersebut bakal memberikan efisiensi cost logistik nasional karena semua biaya yang muncul terukur dan pasti.
“Kalau sekarang ini kan, biaya di pelabuhan sudah bisa kita ukur dan pasti. Namun bagaimana dengan biaya lainnya diluar pelabuhan seperti saat distribusi oleh trucking dan aktivitas penyimpanan barang di gudang diluar pelabuhan. Akan lebih baik jika ada layanan sistem satu atap berbasis digital secara total logistik,” sergahnya.
Operator truk yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), justru berpandangan perlu standar layanan trucking secara seragam di pelabuhan.
Aptrindo mengakui, layanan trucking di pelabuhan yang efisien dan berbasis digital port pada lingkungan pelabuhan yang dikelola PT.Pelindo II/IPC sudah dilakukan di pelabuhan Tanjung Priok dan Banten, serta akan menyusul di pelabuhan Teluk Bayur Sumatera Barat.
Pengusaha truk juga bersyukur dengan telah disiapkannya area parkir (buffer) truk di area eks Pasific Paint Martadinata Jakut sejak awal Oktober 2018 di pelabuhan Priok oleh PT.Pelindo II/IPC.
Dengan kehadiran fasilitas itu, Sopir truk dapat menunggu antrean proses bongkar muat di buffer area yang disiapkan seluas dua hektar serta mampu menampung sekitar 1.100 truk per hari itu.
Fungsi keberadaan buffer truk itu hendaknya dioptimalkan oleh para Sopir truk supaya pergerakan truk dari dan ke pelabuhan Priok yang berasal dari hinterland industri Jabodetabek maupun Jawa Barat dan sekitarnya, tidak bergerak secara bersamaan.
Selama ini, rincian pergerakan truk hinterland Priok berasal dari timur antara lain; Bekasi, Cikarang, Kerawang, Cikampek, Bandung dan sekitarnya mencapai 60% serta sisanya dari wilayah barat seperti Tangerang, Banten, Bogor dan sekitarnya.
“Adanya buffer trucking itu juga diharapkan bisa mengurangi tingkat kemacetan di jalur distribusi dari dan ke pelabuhan Tanjung Priok,” ujar Ketua Umum DPP Aptrindo Gemilang Tarigan, kepada penulis dalam satu kesempatan.
Kendati begitu, jalur distribusi Tanjung Priok menyisakan persoalan tersendiri lantaran sebagian trucking masih enggan menggunakan jalan tol langsung pelabuhan Priok.
Problematika ini ditenggarai selain akibat mahalnya tarif tol itu, sebaran fasilitas garasi truk maupun depo peti kemas empty mayoritas berada di wilayah Marunda dan disekitar Jalan Cakung Cilincing. Sehingga dianggap tak efisien jika harus melewati tol pelabuhan.
Makanya tak mengherankan kalau pada saat-saat closing time atau batas akhir waktu pengapalan ekspor (Setiap hari Kamis dan Jumat) , jalur arteri Priok lebih padat dari hari-hari biasanya, sementara jalur tol langsung pelabuhan nampak biasa-biasa saja dan cenderung lengang.
Seiring untuk mengurai tingkat kemacetan di Ibukota, Pemprov DKI Jakarta berencana mengevaluasi peruntukkan fasilitas lahan buffer peti kemas atau tempat penimbunan sementara (TPS) pabean, pergudangan maupun depo kontainer di luar kawasan pelabuhan Priok.
Pemprov menilai, aktivitas peti kemas di sepanjang jalan Yos Sudarso Jakarta Utara yang dipergunakan untuk kegiatan pergudangan, depo maupun TPS buffer lini 2 pabean Priok sebagai salah satu pemicu kemacetan di wilayah utara Jakarta tersebut.
Disisi lain, kalangan pebisnis berharap transformasi layanan jasa kepelabuhanan dari manual ke digital idealnya terintegrasi dan diikuti dengan sistem layanan sejenis pada entitas bisnis pendukungnya termasuk instansi terkait, agar alur bisnis jasa pelabuhan menjadi seragam.
Karenanya, upaya memodernisasi layanan pelabuhan bukan cuma tanggung jawab operator, tetapi juga melibatkan seluruh entitas bisnis terkait didalamnya.
Ini jadi kunci agar tak ada lagi kecemasan bagi pengguna jasa untuk bisa memasuki era baru pelabuhan dengan mulus.(Akhmad Mabrori / hb)