JAKARTA -MARITIM.: Penambahan peserta BPJS Ketenagakerjan di Wilayah DKI Jakarta tahun 2018 berhasil melebihi target yang ditetapkan. Untuk pekerja penerima upah (PU) tambahan peserta mencapai 111,43%, dan peserta di sektor informal atau pekerja bukan penerima upah (BPU) naik 280%. Sedang untuk perusahaan, penambahan peserta tercatat 34.000 atau mencapai 129% dari target.
Dalam penegakan hukum, sebanyak 4 perusahaan terkena sanksi administratif, yakni penghentian pelayanan publik tertentu karena melakukan pelanggaran. Sementara tunggakan iuran dari sejumlah perusahaan yang berhasil ditagih mencapai Rp 400 miliar.
“Dari target tambahan peserta dari tenaga kerja penerima upah (TKPU) sebanyak 2 juta, sampai akhir November 2018 realisasinya mencapai 2,141 juta atau naik 111,43%, sehingga total PKPU aktif sebanyak sekitar 4,714 juta. Sedang untuk pekerja mandiri atau BPU, dari target 231.000 orang realisasinya mencapai hampir 650.000 orang atau 280%,” kata Deputi Direktur BPJS Ketenagakerjaan Wilayah DKI Jakarta, A. Hafiz Alhady, kepada Maritim di Jakarta, Rabu (27/12/2018).
Dikatakan, keberhasilan penambahan peserta melebih target itu berkat kolaborasi dan kerjasama dengan seluruh mitra di Jakarta. Baik Pemda DKI Jakarta beserta dinas terkait, kejaksaan, asosiasi pengusaha dan serikat pekerja di wilayah DKI Jakarta.
Menurut dia, kerjasama ini perlu ditingkatkan sehingga target seluruh warga DKI yang berjumlah 7,5 juta secara bertahap akan mendapat perlindungan jaminan sosial.
Dari 7,5 juta warga DKI Jakarta, kata Hafiz, hingga November 2018 sebanyak 2,3 juta telah terdaftar di BPJS TK. Sisanya, 5,2 juta lagi akan terus diupayakan mendapat perlindungan, baik mereka yang bekerja di perusahaan kecil/mikro, maupun pekerja mandiri (BPU).
Sampai November 2018, lanjut Hafiz, BPJS Ketenagakejaan di Wilayah DKI Jakarta telah membayar santunan kepada peserta bernilai lebih dari Rp 5,462 triliun. Terdiri dari JHT (Jaminan Hari Tua) sebesar Rp 5,199 triliun (226.125 kasus), JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja) Rp 179,178 miliar (6.068 kasus), JKm (Jaminan Kematian) Rp 49,762 miliar (1.677 kaksus) dan JP (Jaminan Pensiun) sebesar Rp 34,86 miliar (12.341 kasus).
Penegakan hukum
Lebih jauh dikatakan, dalam penyelenggaraan program negara ini dibarengi dengan penegakan hukum bagi yang tidak mematuhi aturan. Misalnya, perusahaan tidak tertib membayar iuran bulanan alias menunggak, tidak mendaftar sebagai peserta BPJS TK, dan melakukan PDS (Perusahaan Daftar Sebagian), baik PDS tenaga kerja (hanya melaporkan sebagian karyawan), PDS upah (tidak melaporkan upah yang sebenarnya), maupun PDS program (hanya ikut sebagian program).
Menurut Hafiz, pada Maret 2018 tunggakan iuran dari ribuan perusahaan mencapai Rp 1,6 triliun. Berbagai upaya dilakukan untuk menagih tunggakan iuran yang disebutnya sebagai piutang BPJS TK.
Tunggakan iuran akan menyebabkan hak-hak pekerja menjadi tertunda, karena status peserta menjadi tidak aktif. Akibatnya, jika terjadi klaim pembayaran santunan akan tertunda.
“BPJS akan membayar santunan setelah peserta melunasi iuran. Jadi antara hak dan kewajiban harus selaras,” ujarnya.
Berbagai upaya dilakukan untuk menagih tunggakan iuran tersebut, terutama yang sudah setahun dan masuk katagori piutang macet. Selain gencar sosialisasi, pihaknya juga melibatkan Kejaksaan sebagai mitra strategis untuk memberikan peringatan atau teguran.
Hasilnya, kata Hafiz Alhady, banyak perusahaan melunasi iuran yang nilainya mencapai Rp 400 miliar lebih. Hingga September 2018, tunggakan iuran masih sekitar Rp 1,1 triliun. Perusahaan yang masih menunggak kemudian diserahkan ke Kejaksaan untuk diproses hukum.
Dalam menyelesaikan tunggakan iuran ini, BPJS Ketenagakerjaan DKI dan Kejaksaan mengedepankan metoda pembinaan, sehingga perusahaan itu sadar dan mau melunasi iuran. Namun, bagi perusahaan yang tetap bandel terpaksa dilakukan tindakan tegas.
“Selama 2018 ada 4 perusahaan terkena sanksi administratif berupa penghentian pelayanan publik tertentu,” katanya tanpa menyebut nama perusahaan besar tersebut.
Dijelaskan, penerapan sanksi administratif itu mengacu Peraturan Pemerintah (PP) No. 86/2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial. PP tersebut merupakan regulasi turunan dari UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Penghentian pelayanan publik tertentu tersebut dilakukan oleh instansi di lingkungan Pemprov DKI Jakarta atas permintaan BPJS dan Kejaksaan. “Bentuknya bisa terkait perizinan, tender, atau kepentingan perusahaan lainnya,” sambungnya.
Sejauh ini, kata Hafiz, belum ada perusahaan yang diproses melalui pengadilan. Tapi kalau perusahaan tidak bisa dibina dan tetap bandel, terpaksa proses hukum akan dilakukan lewat pengadilan.
Untuk tahun 2019, BPJS Ketenagakerjaan DKI Jakarta selain menargetkan penambahan peserta 20% juga masih akan memprioritaskan pembinaan terhadap perusahaan yang melakukan PDS, baik perusahaan besar, menengah, kecil maupun mikro. Program prioritas ini akan dilakukan dalam tiga bulan pertama, dengan sasaran utama pekerja penerima upah, termasuk di perusahaan kecil/mikro.
“Saat ini pekerja di perusahaan kecil/mikro yang sudah jadi peserta baru 60%. Sedang pekerja mandiri yang belum terlindungi jumlahnya lebih besar, mencapai jutaan,” tutur Hafiz.
Untuk mensukseskan program ini, 17 kantor cabang dan 6 kantor cabang pembantu yang berada di bawah BPJS Ketenagakerjaan DKI Jakarta terus disinergikan. Sehingga seluruh warga DKI secara bertahap mendapat perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan, baik pekerja penerima upah maupun bukan penerima upah.
Hafiz menambahkan, dengan iuran yang minim peserta BPJS TK akan menerima banyak manfaat. Dalam kasus kecelakaan kerja, misalnya, semua biaya perawatan di rumah sakit sampai sembuh tanpa batas akan ditanggung BPJS TK, termasuk biaya mengantar ke rumah sakit sejak kecelakaan terjadi.
“Selama dirawat, korban juga mendapat santunan sementara tidak mampu bekerja,” sambungnya. (Purwanto)