Implementasi BAPAS dalam Diversi Anak Berkonflik Terkendala 5 Hal Pokok

Dosen FH Universitas Bhayangkara Jaya Octo Iskandar SH MH
Dosen FH Universitas Bhayangkara Jaya Octo Iskandar SH MH

JAKARTA  –  MARITIM : Implementasi pelibatan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam penyelesaian secara diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum masih terkendala lima hal pokok.

Kendala pertama, koordinasi dengan berbagai instansi terkait belum maksimal. Kedua, kurangnya pemahaman masyarakat tentang perundang-undangan. Ketiga, kurangnya kualifikasi para penegak hukum. Keempat, kurangnya sarana dan prasarana serta kendala kelima, tidak adanya kesepakatan antara korban dan pelaku.

Hal itu terungkap saat Dosen FH Universitas Bhayangkara Jaya, Octo Iskandar SH MH, melakukan Studi di BAPAS Kelas 1 Kota Palembang, Sumatra Selatan, baru-baru ini.

Pada jurnal “Pelibatan Balai Pemasyarakatan dalam Penyelesaian Secara Diversi terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum”, Octo menilai, kasus seperti itu terjadi dalam tiap tingkatan.

“Karenanya, untuk menyelesaikan hal itu, perlu dilakukan langkah bimbingan lewat penelitian kemasyarakatan. Pengawasan dan After Care,” katanya.

Octo menguraikan, BAPAS adalah pranata pelaksana bimbingan klien kemasyarakatan. Balai ini sebelumnya bernama Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA).

Hadir bertujuan pembinaan di luar penjara. Agar tercipta reintegrasi bagi pelanggar hukum (Narapidana dan Anak Didik) dengan masyarakat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pada 1995, setelah UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disahkan, istilah BISPA diubah jadi BAPAS. Lalu diperkuat lagi dengan KM No M.01.PR.07.03 tahun 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pemasyarakatan.

Sebelum UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak muncul, proses peradilan anak diatur UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Yang kemudian dalam UU ini, Pembimbing Kemasyarakatan telah turut berperan dalam proses peradilan anak. Pasal 34 ayat (1).

Kemudian UU No 3 tahun 1997 dirasa tak lagi sesuai, sehingga perlu terbit UU baru, yakni UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Mengusung konsep Restorative Justice. Yaitu mengalihkan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke peradilan di luar pidana. Lalu istilah diversi pun muncul pada UU ini. Yaitu menambah tugas Pembimbing Kemasyarakatan. Terdapat perubahan rumusan soal tugas Pembimbing Kemasyarakatan di Pasal 65 UU No 11 tahun 2012.

Hasil Pembahasan

Diutarakan, awalnya BAPAS ada karena putusan Presidium Kabinet Ampera No 75/UKep./II/66, di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Yang di dalamnya ada dua direktorat, yaitu Direktorat Pembinaan Klien dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Direktorat Pembinaan Luar Lembaga Pemasyarakatan, yang mencakup pembinaan klien anak. Yang selanjutnya kita kenal BAPAS.

Petugas BAPAS Kelas 1 Kota Palembang, Adi Syardiansyah SE MSi, mengatakan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang dikeluarkan pihaknya dapat dipakai sebagai rekomendasi oleh hakim dalam menjatuhkan putusan.

Alurnya, bagi Anak berkonflik dengan hukum, perlu dibuat laporan polisinya oleh masyarakat. Korban atau orang tua korban.

Polisi kemudian mengasesmen berdasar kebutuhan. Misalnya, tindak pidananya soal a susila. Setelah ditahan 3 x 24 jam, Petugas Kemasyarakatan dipanggil mendampingi, untuk dilakukan wawancara ke anak bersama advokat dan keluarganya.

Saat wawancara, Petugas tak boleh mengenakan seragam, tapi hanya baju biasa. Lalu, Petugas juga mengimbau polisi tidak mengintimidasi anak.

Setelah selesai, Petugas mendatangi rumah orang tua pelaku, untuk melihat kondisi yang ada. Apakah orang tuanya dianggap bisa mendidik anaknya dengan baik atau tidak.

Identifikasi ini kemudian ditulis sebagai Litmas untuk direkomendasikan pada sidang Tim Pengamatan Pemasyarakatan (TPP). Apa rekomendasi itu telah tepat dan disetujui oleh seluruh anggota sidang.

Bila rekomendasinya tertulis upaya diversi, maka Petugas jadi wakil fasilitator, untuk menjembatani musyawarah. Baik antar penyidik, keluarga, tokoh masyarakat, pihak sekolah dan tokoh agama.

Jika para pihak setuju diversi, Pembimbing Kemasyarakatan dan penyidik mengurus Penetapan Hakim, untuk diusulkan pada Ketua Pengadilan Negeri. Agar diminta Penetapan Diversi.

Bila di tahap penyidikan tak berhasil diversi, maka lanjut ke tahap Kejaksaan, dengan P-21. Di sini, Jaksa juga mengupayakan diversi kembali. Apabila berhasil, dibuat Penetapan Diversi oleh Hakim. Bila tak berhasil, lanjut ke tahap Pengadilan.

Di Pengadilan, upaya diversi tetap dilakukan. Jika berhasil, dibuat Penetapan Diversi. Tapi bila belum ada titik temu, maka lanjut pemeriksaan persidangan. Yang mana, dalam tiap tingkatannya, Pembimbing Kemasyarakatan harus selalu mendampingi. (M Raya Tuah)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *