Jakarta, Maritim
Komponen tarif layanan kargo impor berstatus less than container load (LCL) di Pelabuhan Priok saat ini dinilai kian meresahkan dan memicu biaya tinggi logistik. Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) mendesak Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta segera menetapkan komponen tariff layanan tersebut.
Sekjen Badan Pengurus Pusat GINSI, Achmad Ridwan Tento kepada pers (9-2-2017) mengatakan, importir di pelabuhan Priok harus menanggung beban biaya logistik yang tinggi karena tarif layanan importasi LCL masih tak terkendali bahkan liar hingga saat ini. Menurutnya, terkait tarif layanan itu, importir harusnya hanya membayar yang ada servicenya saja (no service no pay).
“Seperti cargo shifting kan gak ada pekerjaannya, tetapi kok kami tetap ditagih biaya itu. Karenanya mesti ada ketegasan pemerintah dalam hal ini Otoritas Pelabuhan Priok untuk segera mengatur komponen tarif layanan impor LCL. Pada prinsipnya kami (pengguna jasa) siap memberikan masukkan untuk mencari solusi penyelesaian masalah tersebut,”ujarnya .
Ridwan mengemukakan, berdasarkan data Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok bahwa volume kargo impor LCL di pelabuhan itu mencapai rata-rata 2.500 bok kontener perbulan.
Importasi berstatus LCL kargo yakni kegiatan pemasukan barang impor melaui pelabuhan yang terdiri lebih dari satu pemilik barang yang dimuat dalam satu kontener, bahkan bisa lebih dari lima pemilik barang.
“Akibat tidak adanya kepastian komponen layanan itu,beban biaya tinggi logistik di Priok yang berasal dari layanan LCL impor mencapai puluhan milliar setiap bulan.Dan ini sudah berlangsung cukup lama sebab aturan pedoman tarif sebelumnya sudah kedaluarsa,” paparnya.
Pada tahun 2010, tarif layanan kargo impor LCL di Priok sudah di atur melalui SK Dirjen Perhubungan Laut No: 42/1/2/DJPL -10 tentang Pedoman Pengawasan dan Pengendalian Pemberlakuan Komponen dan Besaran Tarif Batas Atas kargo impor LCL. Dalam beleid itu ditegaskan, tarif layanan impor LCL hanya meliputi al; forwarding local charges dan pergudangan.
Namun,kata dia, akibat SK Dirjen Hubla itu sudah kedaluarsa saat ini komponen tarif layanan kargo impor LCL semakin liar, bahkan importir dipungut al; biaya administrasi, agency fee, container freight station (CFS) charges, CAF, devaning, delivery order (D/O), document fee, biaya handling atau cargo shifting, dan pecah post umum atas layanan importasi LCL.
Sekretaris DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Adil Karim mengatakan sudah menyampaikan kepada OP Tanjung Priok supaya komponen tarif kargo impor LCL Priok di tata ulang.
“Kita sudah sampaikan surat resmi ke OP Priok supaya segera ditata ulang masalah LCL ini,” ujarnya.
Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok, I Nyoma Gde Saputera mengatakan, instansinya akan menata ulang layanan kargo impor LCL di Priok itu,bahkan layanan tersebut nantinya akan dipusatkan pada fasilitas container freight station (CFS) centre di pelabuhan Priok.
“Yang akan kita tata ulang hanya menyangkut komponen tarifnya apa saja berlandaskan no service no pay. Sedangkan berapa besaran tarifnya merupakan domain business to business pelaku usaha,” ujarnya.[Habib]