PRODUK alat kesehatan (alkes) impor masih menguasai 80% pasar domestik, sementara pangsa pasar alkes di Indonesia sebesar Rp 30 triliun. Karena itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendesak berbagai instansi untuk mengutamakan penggunaan alkes lokal, agar tercapai Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).
“Saat ini, pangsa pasar alkes mencapai Rp 30 triliun, tapi hanya sekitar 20% yang diisi oleh produk lokal. Dengan kemampuan industri dalam negeri seperti sekarang, seharusnya pangsa pasar lokal bisa lebih besar lagi,” kata Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian (IPAMP), Kemenperin, Arus Gunawan, saat berbincang-bincang di ruang kerjanya pekan lalu.
Menurut Arus, kemampuan industri alkes dalam negeri baru sekitar Rp 6 triliun, masih didominasi produk impor dengan teknologi tingginya. Terutama pada medical instrument hospital, seperti pasien monitor (detak jantung), peralatan ICU, komponen elektronik medical instrument untuk rumah sakit dan alat-alat di ruang operasi.
Sementara untuk produk lokal, sambung Arus, baru mampu memenuhi kebutuhan di luar medis. Di antaranya peralatan mebel dan tempat tidur untuk pasien, meja periksa pasien, lift care dan electric operating table.
“Saat ini kita baru bisa mensuplai kebutuhan di luar medis. Sedangkan menyangkut peralatan untuk kebutuhan obyek manusia belum bisa, karena teknologinya cukup sulit,” ungkapnya.
Namun begitu, ujar Arus, industri alkes dalam negeri telah memiliki kemampuan untuk memproduksi dengan mutu dan standar yang cukup baik. Tapi masih ada beberapa alkes yang masih diimpor karena Indonesia belum bisa memprodukinya.
“Sebenarnya yang diproduksi dalam negeri sudah memakai teknologi tinggi. Tapi obyeknya masih di luar medis, karena yang kami produksi hanya alat pendukung di luar obyek manusia,” katanya.
Indonesia sebenarnya sudah mengekspor 30% produk alkes ke Jepang dan negara-negara Timur Tengah, dengan nilai Rp 7 triliun per tahun. Berupa tempat tidur pasien, alat tekanan darah dan alat suntik.
“Ekspor sudah terjadi lima tahun lalu. Satu tempat tidur pasien bisa dihargai Rp 30 juta. Umumnya produk itu sudah berteknologi tinggi dan sudah berlabel SNI, CE dan ISO,” ucapnya.
Arus menjelaskan, tahun depan Kemenperin akan menggarap alkes berteknologi tinggi itu, karena sejak 2012 pemerintah telah mendirikan Pusat Pengembangan Teknologi dan Industri Alat Kesehatan (PPTI-Alkes).
“Bekerjasama dengan ITB kita bisa mengembangkan alkes teknologi tinggi pada 2017. Sehingga diharapkan dapat menarik investasi yang cukup besar untuk membangun industri alkes nasional,” katanya. [M Raya Tuah]