Jakarta, Maritim
Pasca pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan Forest Stewardship Council (FSC), kinerja ekspor kayu bersertifikat Indonesia terus meningkat tajam ke berbagai negara di mana sampai akhir Januari 2017 ini nilai tercatatnya sudah mencapai US$700 juta lebih.
“Bahkan, Australia sudah merencanakan untuk menjalin kerja sama dengan Indonesia, terutama untuk kayu-kayu yang telah tersertifikat,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi, pada kesempatan media diskusi yang diadakan oleh Yayasan Dr Sjahrir, di Jakarta, kemarin.
Menurut Purwadi, pemberlakuan SVLK dan FSC meningkatkan ekspor industri berbahan dasar kayu. Karena hampir di seluruh dunia konsumennya berminat pada produk kayu yang bersertifikat. Di mana pada 2017 ini, tren ekspor tersebut terus meningkat, apalagi bahan berdasar kayu itu sudah mengantongi SVLK.
“Konsumen dunia hanya memilih produk kayu yang bersertifikat. Untuk itu, pada 2017 kinerja produk ini akan ditingkatkan ekspornya ke Amerika dan negara-negara lain di Eropa. Mengingat konsumen di dua benua tersebut sudah terbiasa dengan produk bersertifikat,” ungkapnya.
Pasalnya, pasar Eropa baru menyerap produk kayu Indonesia sebesar 11% dari total ekspor industri berbahan kayu. Dengan perkiraan, dampak positifnya bakal tidak ada rintangan, karena masyatakat Eropa sudah terbiasa memilih produk yang bersertifikat.
Sertifikat SVLK mutlak diperlukan jika kita ingin melindungi hutan dari proses penebangan hutan yang tidak bertanggungjawab. Dilaksanakan secara goverment to goverment (G to G) untuk memverifikasi hasil hutan dalam negeri yang ramah lingkungan dari hulu sanpai hilir. Sementara FSC, sama dengan SVLK, hanya dilakukan secara business to business (B to B). Yang dimunculkan atas kesadaran masyarakat sipil.
Purwadi menambahkan, sebagai pelaku usaha tidak merasa keberatan dengan adanya sertifikat kayu ini. Namun, edukasi sertifikasi juga perlu ditingkatkan bagi konsumen industri dalam negeri. Apalagi, SVLK juga baru tahun kemarin berlaku di Indonesia. Mengingat, saat ini industri dalam negeri masih banyak menggunakan bahan baku dengan emisi tinggi, seperti baja ringan di sektor properti. Bahwa dengan menggunakan kayu juga bisa.
Di tempat sama, Dirjen Pengolahan Produk Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan dan Kehutanan, Ida Bagus Putera, mengatakan pihaknya terus menjembatani dunia usaha dan pemerintah Eropa dalam berbagai kerja sama untuk SVLK ini. Sehingga produk industri berbahan dasar kayu bisa lancar dipasarkan ke pasar global.
Mengingat sampai sekarang ini, tambahanya, masih banyak perusahaan yang belum melakukan sertifikasi barang produksinya. Meski kebijakan SVLK baru berlaku di pertengahan tahun lalu, masih ada pelaku usaba yang belum memberikan sertifikat untuk produknya.
Ditambahkan, kebijakan sertifikasi adalah salah satu usaha dari pemerintah dalam mengatasi permasalahan perubahan iklim sekaligus mendorong dunia industri. Di mana penerapan kebijakan penggunaan kayu dalam negeri harus menggunakan semua standar seperti sertifikat SVLK. (M Raya Tuah)