Marina Benoa: PADA AWALNYA (1)

Perairan Marina Benoa ketika belum dikelola oleh PT PPI
Perairan Marina Benoa ketika belum dikelola oleh PT PPI

PT PPI  berkomimen mengembangkan properti yang terkait dengan industri pariwisata. Langkah awal dimulai dengan rencana mengembangkan Marina Benoa Bali. Namun rencana terkendala perijinan dari Pemkot Denpasar. Erick Arhadita wartawan Maritim mencoba menyusuri akar masalah, dengan melakukan liputan di lapangan. Laporannya akan dimuat dalam tiga edisi.

TAK terdapat catatan pasti tentang awal datangnya wisatawan asing ke Bali. Namun bisa dipastikan bahwa publikasi lewat media massa maupun buku-buku dari Jacob Kackerlack, Anna Mathews, Gregor Krause hingga Miguel Covarrubias menjadi pemicu keinginan tahu orang luar terhadap Bali. Pulau kecil di sebelah timur Jawa ini, tak hanya dikenal dengan nama Bali, tetapi juga disebut sebagai the last paradise (surga terakhir). Bahkan ada yang menyebut sebagai island of demon (pulau hantu).

Read More

Bukan hanya gunung, pantai, pura tempat pemujaan, puri yang kian kehilangan auranya serta tari dan gending yang diekspoitir habis-habisan sebagai suguhan bagi wisatawan, bahkan air terjun dan matahari terbenam, ikut “dijual” demi kepuasan para pelancong dari negeri yang biasa hidup di empat musim. Mereka datang dengan pesawat udara ultra modern dan juga kapal pesiar mewah.

Sebagian turis lagi datang menggunaan kapal-kapal bertiang tinggi (tall ship)atau juga dikenal dengan sebutan yacht atau minicruise yang kendati berukuran kecil, tetapi memiliki nilai ekonomis yang luar biasa tinggi. Menurut Arief Yahya Menteri Pariwisata RI : “Berbeda dengan pelancong kelas backpackers, mereka yang datang menggunakan tall ship, Adalah turis spesial yang berkelebihan harta, hingga bagimereka masalah biaya tak pernah jadi soal Karena  itu, tak mengherankan apabila di akhir kunjungannya ke Indonesia mereka tinggalkan kapalnya,kendati harus parkir dengan sewa cukup mahal di pelabuhan-pelabuhan tujuan wisata seperti Benoa, Batam, Raja Ampat dan lain sebagainya, untukdilain waktu mereka akan kembali menggunakan kapalnya yang diparkir di salah satu pelabuhan Indonesia untuk kemudin kembali menyisir perairan laut Nusantara”.

Mencermati perilaku wisatawan tajir yang biasa melancong di Monaco, Bahama, Hawai sebagai cabang atas seperti sepertimaka, makamenteri-menteri pariwisata Indonesia sejak GPH Djatikusumo, Hamengkubuwono IX, Achmad Tahir, Soesilo Soedarman, Joop Ave, I Gede Ardika, Jero Wacik hingga utamanya Mari Elka Pangestu dan Arief Yahya, tak henti-hentinya mencari peluang untuk “menangkap” keberadaan mereka.

“Dari pengamatan kami, kesulitan utama dalam mendatangkan wisatawan pengguna tall ships, dimasalalu terletak pada adanya hambatan regulasi, pembangunan infrastruktur khusus berupa pelabuhan marina yang terintegrasi dengan kegitan wisata lain di banyak lokasi” tutur Prasetyo Direktur Utama PT Pelindo Properti Idonesia (PPI) anak usaha PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) kepada Maritim.

Menurut Prasetyo, Manajemen Pelindo III sejak tahun 1994 telah mengantisipasi bakal terjadinya lonjakan kunjungan wisatawan pengguna tallships. Untuk itu, dalam Rencana Induk Pelabuhan (RIP) yang diajukan untuk mendapat perijinan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dan Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar telah dipaparkan bahwa elain sebagai pelabuhan umum untuk perdagangan, Pelabuhan Benoa juga diperuntukkan bagi bongkar muat barang (mencakup barnag general cargo dalam kemasan curah dan kontener) serta penumpang (termasuk wisatawan mancanegara, wisman), pelabuhan yang berfungsi melayani kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) serta pelabuhan perikanan.

“Dalam Peraturan Daerah (Perda) no: 5 tahun 1999 Pemprov Bali melakukan revisi dalam peruntukan bongkar muat barang di Pelabuhan Benoa, yaitu akan memfungsikan Benoa sebagai pelabuhan bongkar/muat barang-barang yang tak menimbukan polusi, dengan cara memindahkan bongkar muat GC curah dan petikemas ke Pelabuhan Celukan Bawang, serta menyiapkan pelabuhan perikanan di luar Benoa. Namun dalam kenyataan revisi tersebut sampai kini belum dapat diwujudkan” jelas Anak Agung Made Kariana, Site Manager PT PPI di Benoa, kepada Maritim yang pertengahan Februari 2017 lalu melakukan liputan di Benoa.

Sebagai akibat belum keluarnya ijin pembangunan pelabuhan marina dari Pemkot Denpasar padahal Pempov Bali sudah memberi “lampu hijau” berupa persetujuan terhdap rencana dikembangkannya pelabuhan marina di Benoa yang dinilai tak bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provisi Bali. Mencermati kebijkan Pemkot Denpasar, Made Mangku Pastika Gubernur Bali sempat berucap: “Dengan kelambanan pemberian ijin seperti ini, telah membuang peluang terjadinya investasi dalam jumlah ratusan miliar ke Bali”

Kondisi kawasan Marina Benoa saat ini ibarat hidupenggan mati pun segan. Seperti diketahui, dengan adanya kendala perijinan yang berpeluang terjadinya investasi di Benoa dengan besaran sekitar Rp.500 miliar itu, maka Kondisi kawasan Marina Benoa saat ini ibarat hidup enggan mati pun segan.PT PPI yang sudah berkomitmen membangun infrastruktur untuk menyambut peningktan tren wisata bahari d Indonesia, segera mengalihkan sementarafokus dengan pembangunanmarina di Pelabuhan Boom Banyuwangi,yang kelak akan terintegrasi dengan proyek marina di Labuhan Bajo di Nusa Tenggara Timur dan Pelabuhan Gili Mas di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Pertanyaannya adalah: mengapa dalam waktu cukup lama Pemkot Denpasar terkesan alot memberi ijin? Menghadapi persoalan itu, Manajemen Pelindo III sempat “sewot” hingga muncul ucapan dari orang pertama di jajaran Pelindo IIIkala itu dengan kalimat: “Kalau “fihak sana” mengharap mendapatfee dari pemberian ijin pembangunan marina di Benoa,  kami sebagai BUMN tak akan meladeni. Tetapi apabila proyek tersebut nanti berjalan, kami siap memberi kontribusi melalui bentukkerjasama seperti yang terjadi dengan Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya saat kami membangun Terminal Multipurpose Teluk Lamong”.

Namun, bila dicermaTi dengan kepala dingin, akar masalahnya tidak berkaitan dengan ada atau tak adanya fee untuk meloloskan perijinan RIP Pelabuhan Benoa. Dalam wawancara Maritim akhir tahun 2015 dengan Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra Walikota Denpasar, didapat penjelasan bahwa untuk mengeluarkan ijin pengembangan marina Benoa, fihaknya dihadapkan pada dilema. Ujarnya kala itu: “Sebagai orang Bali yang lahir di Denpasar, saya juga ingin melihat perkembangan positif daerah ini. Tetapi sebagai pejabat pengemban kepercayaan masyarakat, saya tak ingin mencederai amanat tersebut. Saat ini warga Denpasar khususnya dan Bali umumnya, tengah diguncang rencana revitalisasi Teluk Benoa oleh pengusaha besar dari Jakarta dan telah mengantongi ijin berupa Peraturan Presiden No: 51 Tahun 2014 terkait perubahan peruntukan ruang sebagian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil bagian Kawasan Teluk Benoa yang akan dilakukan  dengan cara reklamasi yang diperkirkan bakal mencemari kawasan suci ummat Hindu di Bali”.

Dalam akhir penjelasan kepada Maritim, Rai Mantra mengingatkan: kendati Perpres 51/ 2014 itu diterbitkn berdasar pertimbangan keseimbangan potensi alam, wisata dan lingkungan, tetapi sebagian masyarakat Kota Denpasar serta Kabupaten Badung, tetap tak bisa menerima kebijakan revitalisasi yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara reklamasi kawasan perairan.

Ujarnya: “Masyarakat Bali telah trauma dengan kasus reklamasi terhadap Pulau Serangan yang berpotensi mencemarimandala suci Pura Sakenan sebagai “pintu”masuknya Danghyang Nirarta ketika membawa ajaran Hindu ke Bali pada tahun 1537”. **(Bersambung/ERICK ARHADITA)

 

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *