Jakarta, Maritim
Sektor industri agro nasional saat ini tengah menghadapi tantangan dari isu negatif di tingkat internasional. Di mana, resolusi sawit yang dikeluarkan oleh Parlemen Uni Eropa, merupakan gangguan yang bersifat politis. Karena akibatnya akan membendung kinerja ekspor sawit Indonesia yang terus tumbuh positif.
“Untuk itu, kami akan mengadakan pengkajian mengenai dampak resolusi tersebut terhadap pertumbuhan industri hilirnya di Indonesia,” kata Dirjen Industri Agro Kemenperin, Panggah Susanto, di Jakarta, Rabu (17/5).
Kemenperin, tambahnya, juga telah berpartisipasi secara lintas kementerian dalam menyiapkan narasi tunggal mengenai posisi Indonesia yang berisi fakta-fakta dari perkebunan dan industri kelapa sawit dalam negeri yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Di samping itu, Kemenperin juga berpandangan bahwa rencana Parlemen Uni Eropa untuk menghentikan konsumsi biodiesel sawit pada 2020, bisa membawa dampak bagi Uni Eropa sendiri. Karena supply biofuel yang paling murah hanya dari minyak sawit.
Ditambahkan, tindakan mitigasi dari Indonesia atas hal tersebut, antara lain meningkatkan konsumsi biodiesel domestik melalui mandatory Biodiesel B-20 (PSO dan Non-PSO). Mencari pasar ekspor biodiesel non konvensional seperti ke Jepang, Tiongkok, India, Malaysia, negara-negara di Timur Tengah serta Asia Tengah dan Utara.
Panggah menyebutkan, posisi unggul Indonesia pada sektor industri agro, adalah produsen kelapa sawit nomor satu di dunia, produsen kakao nomor tiga di dunia dan produsen pulp dan kertas nomor enam di dunia.
“Di mana nilai ekspor kelapa sawit mentah dan turunannya mencapai US$20 miliar. Terbesar dari single commodity lainnya,” ujar Panggah.
Saat ini, kontribusi sektor industri agro terhadap PDB industri pengolahan non migas sebesar 45,81%. Nilai investasi PMDN mencapai Rp14,69 triliun dan PMA sebesar US$600 juta serta nilai ekspor mencapai US$12,12 miliar.
Pada triwulan I/2017, pertumbuhan industri agro mencapai 6,33%, atau melebihi pertumbuhan industri pengolahan non migas sebesar 4,71%. Pertumbuhan tersebut, salah satunya disumbang terbesar dari industri makanan dan minuman, yang mencapai 8,15%.
Karena itu, industri agro berperan besar dalam memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Beberapa sektornya juga telah memiliki daya saing yang tinggi di tingkat global. Peluang pengembangan industri agro di Indonesia untuk masa depan masih cukup menjanjikan.
Sementara menjawab soal industri gula, Panggah menjelaskan Kemenperin telah menawarkan insentif untuk menarik minat para investor membangun pabrik gula di Indonesia. Yakni pemberian izin impor bahan baku Gula Kristal Mentah (GKM) berdasarkan Permenperin No 10 tahun 2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku Dalam Rangka Pembangunan Industri Gula.
“Tujuannya untuk membangun industri gula yang terintegrasi dengan perkebunan tebu, mempercepat pengembangan perkebunan tebu dan memaksimalkan utilisasi mesin-mesin pabrik,” tuturnya.
Selain itu, pabrik gula di luar Pulau Jawa akan diberikan izin impor bahan baku GKM selama tujuh tahun secara bertahap. Tahun pertama, Kemenperin memberikan izin impor 90% dari seluruh kebutuhan bahan baku yang berangsur menurun hingga 0% di tahun ke delapan.
Kemudian, untuk pabrik gula yang berada di Pulau Jawa, izin impor diberikan selama lima tahun dan secara bertahap impornya terus dikurangi. Sementara pabrik gula yang melakukan perluasan, diberikan insentif selama tiga tahun.
Adapun pabrik gula yang bisa memanfaatkan insentif tersebut, yakni pabrik gula baru atau perluasan, yang terintegrasi dengan perkebunan tebu yang membangun pabrik gula lengkap. Mulai dari proses ekstraksi atau penggilingan sampai proses kristalisasi sesuai standar yang dibutuhkan. (M Raya Tuah)