Jakarta, Maritim
Saat ini, Kemenperin fokus mengakselerasi pengembangan industri baja di Indonesia, dengan alasan untuk menjadi negara industri yang maju. Sebab, keberadaan industri baja mutlak diperlukan, sebagai pondasi dasar bagi sektor manufaktur agar dapat tumbuh dan berkembang.
“Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya mineral logam yang melimpah, sehingga sudah seharusnya memiliki industri baja yang kuat, tangguh dan mandiri. Di mana, industri baja merupakan industri logam yang paling utama, karena itu dia disebut sebagai mother of industry . Yang menopang kebutuhan sektor lainnya,” tegas Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan, di Jakarta, Jumat (26/5).
Kemenperin mencatat, kebutuhan baja domestik saat ini mencapai 12-14 juta ton per tahun, namun kapasitas produksi industri baja nasional sebesar 7-9 juta ton per tahun. Artinya, industri ini baru bisa memasok hingga 6-8 juta ton, yang mana potensinya memang masih sangat besar. Sehingga perlu investasi tambahan lagi.
Berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN), hingga 2024 Indonesia ditargetkan mampu memproduksi baja sebanyak 17 juta ton per tahun, dengan fokus pada baja-baja bernilai tambah tinggi. Sedangkan pada 2035, industri baja nasional sudah memiliki kapasitas produksi mencapai 25 juta ton per tahun.
Guna memenuhi sasaran tersebut, Kemenperin tengah mendorong percepatan beberapa proyek pembangunan industri baja yang tersebar di wilayah Indonesia, seperti proyek 10 juta ton di Cilegon, Banten. Pembangunannya dapat memberikan multiplier effect berupa penyerapan tenaga kerja langsung sebanyak 45.000 orang dan tidak langsung mencapai 375.000 orang. Selain itu, pendapatan pajak sekitar US$0,17 miliar dan kontribusi terhadap PDB sebesar 0,38 persen.
Proyek kedua, adalah industri berbasis nikel dan baja tahan karat (stainless steel) di Morowali, Sulawesi Tengah. Kawasan ini memiliki lahan seluas 2.000 ha, ditargetkan dapat menarik investasi sebesar US$6 miliar, atau setara Rp78 triliun. Dengan menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 20 ribu orang dan tidak langsung sekitar 80 ribu orang.
Dari kawasan tersebut, juga ditargetkan bisa menghasilkan empat juta ton baja stainless steel, lalu pabrik baja karbon berkapasitas empat juta ton. Yang saat ini dalam tahap perencanaan.
Ketiga, proyek pengembangan industri baja di Batulicin, Kalimantan Selatan. Yang saat ini sudah ada industri baja di sana, yaitu PT Meratus Jaya Iron Steel, namun masih diperlukan dukungan dari seluruh pihak. Sehingga industri baja di kawasan ini dapat tumbuh dan berkembang.
Dalam upaya penyiapan sumber daya manusia yang siap kerja di kawasan industri Morowali dan Batulicin, Kemenperin telah menginisasi pembangunan politeknik, sehingga putra-putri daerah dapat berperan lebih aktif dalam membangun industri di kawasan tersebut.
Pada kesempatan sama, Direktur Industri Logam Kemenperin, Doddy Rahadi, menuturkan Indonesia berada di peringkat ke-6 Asia dalam hal produksi baja kasar (crude steel) yang mencapai 8 juta ton per tahun.
“Kita tidak boleh lengah, karena negara ASEAN lainnya tengah berbenah untuk memajukan industri bajanya, seperti Vietnam. Yang memiliki rencana untuk membuat 10 Blast Furnaces sampai dengan tahun 2030. Untuk memajukan industri baja dan industri perkapalannya.
Untuk itu, ujarnya, perlu ada perbaikan-perbaikan dan harmonisasi regulasi dalam menjamin kepastian industri baja nasional dapat tumbuh dan berkembang. Misalnya, dari aspek energi, tantangan yang dihadapi industri baja adalah harga listrik dan gas yang masih tergolong tinggi.
Kenaikan harga listrik 1 sen per kWh, dapat menaikkan ongkos produksi baja mencapai US$8 per ton. Kemenperin telah mengusulkan harga gas untuk baja ini di kisaran US$3-4 per mmbtu, sehingga industri baja berbasis gas dapat beroperasi kembali, di mana awalnya harga gas industri baja mencapai US$6,3 per mmbtu.
Di sisi lain, dalam upaya mendukung daya saing dan tumbuhnya industri baja, pada aspek teknologi perlu ada revitalisasi permesinan. Sehingga produksi menjadi lebih efisien dan ramah lingkungan. Kemenperin juga memfasilitasi investor dalam memperoleh insentif seperti tax allowance dan pembebasan bea masuk untuk barang modal.
Saat ini, Kemenperin tengah memacu kinerja sektor ILMATE agar memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan manufaktur dan ekonomi nasional. Pada 2016, sektor ILMATE tumbuh 3,87 persen, dengan menyumbang PDB sebesar 4,93 persen.
“Sumbangan untuk industri manufaktur harus terus ditingkatkan, karena selama ini jadi penggerak utama bagi pertumbuhan ekonomi. Targetnya dapat mencapai 30 persen. Saat ini baru sekitar 18 persen. Masih butuh 12 persen lagi,” ungkap Putu.
Dua sub sektor ILMATE, merupakan kontributor terbesar terhadap PDB sektor non migas pada 2016, yaitu industri barang logam. Komputer, barang elektronika, optik dan peralatan listrik sebesar 10,71 persen serta industri alat angkut 10,47 persen. Sedangkan kontributor industri logam dasar di kisaran 3,96 persen serta industri mesin dan perlengkapan 1,78 persen. (M Raya Tuah)