Pekan lalu, wartawan maritim.com Erick Arhadita lakukan liputan
ke Pelabuhan Tanjung Emas Semarang dan Tanjung Intan Cillacap.
Hasil liputannya, masing-masing akan diunggah dalam 3 tayangan
LEGENDA menyebutkan bahwa nama kota Semarang, berawal dari sebutan bagi kawasan pantai yang banyak dikunjungi kapal-kapal asing, utamanya dari India dan Asia Selatan lainnya, pengumpul komoditas berupa buah asam (asem, tamarin) dan arang yang pada masa itu dibutuhkan untuk bahan obat-obatan dan kosmetik. Tetapi sejarah tutur lain menyebut bahwa kawasan di sisi utara bukit Gombel ini, merupakan daerah kekuasan Syech Asmorokondi, seorang mubalig yang juga saudagar asal Samarkand. Sejauh mana kebenaran dua kisah tadi, tampaknya menjadi tidak terlalu penting, karena kata asem-arang maupun Samarkand, memiliki kedekatan mutatis dengan pengucapan semarang, yang kini menjadi ibukota Provinsi Jawa Tengah.
Semarang sebagai kota tua, juga memiliki pelabuhan lama, yang akibat kondisi posisi geografisya terpaksa mengalami beberapa kali perpindahan lokasi. Menurut berita China yang ditulis oleh Ma Huan pada Abad ke-VII Masehi, bandar yang berlokasi di Kali Semarang sudah ramai dikunjungi kapal-kapal dagang antar pulau, utamanya dengan kerajaan Landak dan Tanjungpura di Kalimantan.
Kunjungan Laksamana Chengho sampai tiga kali (1405-1407, 1407-1408, 430-1433) menjadi bukti pentingnya peran kota dan pelabuhan Semarang. Rangkaian penjelajahan itu menggunakan armada luar biasa besar meliputi 307 kapal yang mengangkut 27.000 orang. Armada yang mendarat di daerah Simongan, sebelah barat kota Semarang itu ketika balik ke negeri leluhur, meninggalkan sebagian pesetana yang kemudian menjadi kaum migran yang mendominasi Semarang sebagai kota kosmopolitan. Di tanh kediamannya yang baru itu, merekamulai memperkenalkan pertanian dengan sistem mengolah tanah secara menetap, mengembangkan sistem irigasi, serta peyimpanan hasil pertanian untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk diperdagangkan ke luar negeri. Kepeloporan orang-orang Tionghoa pelaku ekspedisi jalur sutera itu mengilhami pendatang asing lainnya, yang meneguhkan Semarang menjadi kawasan multi etnis dan multi rasial.
Tome Pires, seorang penjelajah berkebangsaan Portugis yang dua kali mengunjungi Jawa (1512 dan 1515), dalam kronik “Suma Oriental” secara cukup rinci melaporkan kondisi pantai-pantai utara Jawa. Antara lain menyebut pelabuhan Semarang pada saat itu sudah pindah ke kawasan Simongan, banyak dikunjungi kapal-kapal niaga asing, dan di dalam kota banyak dihuni penduduk dari berbagai suku dan kebangsaan. Selain orang Jawa, Madura dan Sunda, terdapat pula pendatang dari Tiongkok, India, Arab dan orang-orang Eropa yang menjadi perwakilan dagang maupun pengurus kapal-kapal pengangkut hasil bumi untuk ekspor dan alat-alat terbuat dari besi/baja sebagai komoditas impor.
Berbeda dengan pendatang asing lain, komunitas asal Tiongkok di Semarang saat itu banyak yang melakukan kegiatan yang bersangkutan dengan keperluan hajat hidup orang banyak seperti bertani dengan cara olah tanah secara menetap yang didukung irigasi teknis, perdagangan kelontong, importasi alat-alat rumahtangga dan tekstil, pertukangan kayu, industri makanan dan obat-obatan oriental serta transportasi darat. Berkat ketekunan serta hubungannya yang luas dengan penduduk dan pejabat, pada masa itu muncul taipan Oey Tiong Ham (lahir di Semarang 1866, meninggal di Sigapura 1924) yang disebut sebagai “raja gula Asia”. Berbagai ragam usahanya seperti ekspor hasil bumi, industri gula, perbankan, broker, poperti, pelayaran, dan konon termasuk peredaran opium, usahanya mempunyai cabang-cabang di Bangkok, Kalkutta, Singapura, Hongkong, Shanghai, London dan New York. Tahun 1961 pemerintah RI menasionalisasi seluruh usaha Oey di Indonesia, yang kemudian disatuan dalam perusahaan holding di bawah nama “Rajawali Grup”.
Semangat OeyTiong Ham ini, tampaknya menjadi teladan para usahawan berdarah Tiongkok lain di Semarang khususnya dan Jawa Tengah umumnya dalam berbagai jenis usaha seperti industri rokok kretek, farmasi tradisional, makanan olahan, transportasi, dll. Keberhasilan usaha tersebut, pada muaranya berhasil memicu pertumbuhan pelabuhan Semarang menjadi pintu gerbang perekonomian Jawa Tengah, yang makin berperan dari sisi ekspor impor dan antarpulau. Utuk memenuhi tuntutan kebutuhan angkutan laut, setelah VOC memindahkan kegiatan usahanya ke Pulau Jawa pada tahun 1743, maka pelabuhan tradisional di sisi Kali Semarang itu pada tahun 1874 mulai dibangun menjadi pelabuhan yang lebih modern untuk melayani kapa-kapal ocen going yang berukuranmakin besar.
Akibat pesatnyapertumbuhan perekonomian daerah hinterland pelabuhan, maka pada tahun 1982 mulai dilakukan pembangunan mendaar Pelabuhan Semarang dengan mengubah performansi dari pelabuhan reede menjadi infrastruktur yang mampu memberi pelayanan bagi kapal-kapal yang memiliki draft lebih dari 5 meter. Pembangunan tahap pertama selesai 23 November 1985, ditandai dengan peresmian perubahan nama menjadi Pelabuhan Tanjung Emas.
“Untuk menjawab tantangan kebutuhan masa depan, Pelabuha Tanjung Emas akan terus dibangun dan dikembangkan. Sebab selain harus melayani bongkar muat muatan tradisional, kini Tanjung Emas juga harus memperkuat lini bisnis dengan layanan petikemas, kunjungan kapal pengangkut wisatawan macanegara, dan juga harus siap menjadi kawasan industri terpadu” jelas Agus Hernawan General Manager PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) kepada maritim.com yang melakukan liputan ke Semarang. (Bersambung).***ERICK A.M.