Bogor, Maritim
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menagih realisasi penurunan harga gas kepada para menteri Kabinet Kerja untuk memangkas ongkos produksi industri di Indonesia.
Pasalnya, sejak menjanjikan penurunan harga gas pada 2014 lalu, pemerintahan menyatakan bisa menyediakan harga gas yang murah bagi tiga dari tujuh kelompok industri, yaitu industri pupuk, baja dan petrokimia. Sementara empat kelompok industri lainnya, yaitu oleochemical, kaca, keramik dan sarung tangan karet masih gigit jari.
Padahal, menurut Jokowi, jika pemerintah bisa menyediakan harga gas di bawah US$6 per Million British Thermal Units (MMBTU), maka hal tersebut bisa menjadi modal memperkuat industri nasional dan mendorong daya saing produk-produk industri di pasar dunia. Namun yang terjadi di lapangan, mayoritas industri masih harus menebus bahan bakar produksinya dengan harga US$10-11 per MMBTU.
Instruksi Jokowi itu kemudian diterjemahkan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, dengan memberikan lampu hijau dilakukannya impor gas alam cair (LNG) dari konsorsium Singapura seharga US$3,8 per MMBTU. Harga tersebut menurutnya jauh lebih murah dibandingkan harus mengangkut LNG dari lapangan gas di kawasan Indonesia Timur.
Wacana kebijakan yang menimbulkan pro dan kontra mengingat Singapura bukanlah negara produsen gas, ditambah lagi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah memperkirakan sampai 2035 mendatang ada 60 kargo LNG produksi lapangan gas di dalam negeri yang belum memiliki pembeli.
Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen, Agus Pambagio, mempertanyakan wacana impor sebagai cara instan pemerintah dalam menekan harga gas bagi pelanggan industri.
Mengutip data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Agus menyebut pada 2017 ini kebutuhan industri gas bumi mencapai 2.280 MMSCFD. Gas tersebut sebagian besar diserap industri pupuk sebesar 791,22 MMSCFD dan petrokimia 295 MMSCFD.
“Sementara menurut Kementerian ESDM, produksi gas sampai 4 September 2017 itu sekitar 7.756 MMSCFD. Lalu mengapa harus impor?” ujar Agus, saat seminar ‘Efisiensi Gas Industri Tanpa Harus Impor’, yang diselenggarakan Forum Wartawan Industri (Forwin), di Grand Diara Hotel, Bogor, Kamis (7/9).
Agus menilai, pemerintah seharusnya fokus membedah dan memperbaiki marjin harga gas yang tinggi, ketika sampai ke tangan pelanggan. Karena banyak melalui perusahaan perantara alias trader yang mengambil marjin tinggi.
“Trader gas ini sangat banyak dan punya power sangat besar. Sehingga sulit ditertibkan. Mudah-mudahan revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi melalui pipa bisa cepat selesai. Sehingga harga gas bisa diturunkan,” ujarnya.
Mantan Wakil Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menuturkan, setelah revisi peraturan tersebut diterbitkan Menteri ESDM Ignasius Jonan, tidak akan mengizinkan para trader mendapatkan perpanjangan kontrak pasokan gas. Kecuali trader tersebut membangun penampungan dan jaringan pipa gas ke konsumen.
“Menko Luhut juga seharusnya sudah tahu, kalau Indonesia sudah punya kontrak impor gas sebanyak 1.5 MTPA dengan perusahaan Amerika Serikat Corpus Christi mulai 2019 sampai 2941. Lalu ada pembahasan perjanjian jual beli dengan perusahaan Afrika Mozambique LNG sebanyak 1 MTPA mulai 2022 sampai 2041. Kalau masih impor juga dari Singapura, lantas gas dari kontrak ini siapa yang mau membeli?” tegasnya.
Karena itu, lanjut Agus, opsi impor gas demi mengejar harga murah bagi pelanggan industri tidak dilakukan pemerintah. Pemerintah sebaiknya mengoptimalkan pasokan gas yang sudah ada sambil terus membangun infrastruktur transmisi dan distribusi gas sambil menertibkan para trader yang menguntungkan diri sendiri. Agar jangan sampai kebijakan impor gas itu justru merusak industri migas hulu dan hilir di Indonesia.
Sementara Head of Marketing and Product Development Division PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk, Adi Munandir, menambahkan pemerintah perlu mengklarifikasi harga gas murah yang disodorkan oleh konsorsium asal Singapura di angka US$3,8 per MMBTU.
Karena, jika harga yang disebutkan baru merupakan harga hulu, nantinya untuk sampai ke Indonesia dan bisa dimanfaatkan pelanggan industri harganya bisa lebih mahal dari harga gas domestik.
Hitungannya, lanjut Adi, kontrak harga LNG di Amerika Serikat sekitar US$3 dolar untuk gas hulunya saja. Gas tersebut kemudian butuh proses liquifikasi, pengiriman dengan kapal tanker, regasifikasi, transmisi dan terakhir didistribusikan ke pelanggan industri di Indonesia.
“Untuk sampai ke end user harganya bisa lebih dari US$11 per MMBTU. Bahkan bisa lebih mahal dari harga di dalam negeri,” jelasnya.
Saat ini, menurut Adi, persoalan harga gas industri yang tinggi tidak bisa dicarikan solusi mudah dengan membuka keran impor gas. Pasalnya, dengan mengimpor gas demi mengejar harga yang murah, akan membuat banyak proyek pengembangan lapangan gas di dalam negeri menjadi terhenti.
“Begitu impor LNG dilakukan, maka neraca perdagangan kita berubah bentuknya, menjadi defisit. Itu berdampak pada nilai tukar rupiah, inflasi dan sebagainya. Jadi untuk memutuskan impor sebaiknya dilakukan secara hati-hati,” ungkap Adi.
Senada dengan Agus, Adi menyarankan, untuk menekan harga gas di dalam negeri pemerintah bisa melakukan rasionalisasi biaya distribusi gas dari hulu sampai ke pelanggan yang disalurkan melalui pipa gas.
“Masalah penjualan bertingkat sampai marjin itu harus dibenahi. Kalau Indonesia terus bergantung pada penyediaan gas bumi dari impor, maka akan berdampak negatif bagi ketahanan energi nasional. Sementara masih ada surplus LNG domestik yang belum memiliki pembeli. Karena itu saya menilai impor gas saat ini belum tepat dilakukan,” mengakhiri. **(M Raya Tuah)