Kehadiran program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) berpotensi menimbulkan gejolak harga beras di masyarakat. Bahkan, cenderung membuat instabilitas di dalam negeri, karena belum pernah diuji coba efektifitas dan efisiensinya.
“Yang krusial, pemerintah akan sulit mengontrol jalannya program baru ini, di mana dengan sendirinya program beras bagi masyarakat sejahtera (rastra) beralih ke BPNT atau e-voucher,” tegas Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron, pada FGD ‘Evaluasi Pelaksanaan Pangan’, di Kantor Perum Bulog, Jakarta, Jumat (22/09).
Hal lain, katanya, program ini juga berpotensi menimbulkan perbedaan harga beras di setiap daerah. Di mana, mekanisme penyaluran beras yang sebelumnya dijalankan Perum Bulog melalui raskin/rastra, berganti ke sistem e-voucher yang belum pernah diuji di lapangan.
Program BPNT adalah bantuan pangan dari pemerintah yang diberikan kepada keluarga penerima manfaat (KPM) setiap bulan, melalui mekanisme akun elektronik yang hanya berlaku saat membeli pangan di e-warong.
Pengenalan program sudah diluncurkan pada Pebruari 2017 lalu, melalui program Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), yang diikuti serentak di 44 kota lainnya di Indonesia. Tapi sampai sekarang, penerapannya belum berjalan lancar di lapangan, karena hingga per 19 September 2017 lalu Perum Bulog masih merealisasikan penyaluran raskin 2017 sebanyak 1,77 juta ton.
Padahal, jika program ini benar-benar sudah diberlakukan, maka program raskin yang dikelola Perum Bulog seharusnya sudah berganti ke BPNT. Namun nyatanya tidak demikian, karena hingga 19 September 2017 lalu, Perum Bulog masih merealisasikan penyaluranm raskin 2017 ke rumah tangga sasaran (RTS).
Di samping itu, jika program BPNT diterapkan, harga beras di satu daerah akan berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Yaitu, harga di Papua bakal tidak sama dengan di Aceh Jaya. Sedangkan di program Rastra, Perum Bulog bisa menyatukan berbagai perbedaan harga beras di seluruh Indonesia, yakni Rp1.600 per kg yang berjumlah 14,21 juta RTS.
Pemerintah, saran Herman, tetap saja memakai program Rastra. Namun dengan memperbaiki kelemahan yang ada dan kemudian melanjutkannya lagi.
Sementara Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan, Khudori, menambahkan dengan program rastra memang relatif lebih efektif sebagai alat stabilisasi. Sekaligus mampu menahan gejolak harga beras. Namun, tatkala berganti ke program BPNT, tidak ada lagi alat stabilisasi pada Perum Bulog. Sebab, sepenuhnya sudah bergantung pada kekuatan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Sehingga, Perum Bulog dapat diberi penugasan untuk memperbesar CBP menjadi 1,5 juta ton, dari sebelumnya 350.000 ton.
“Itu konsekuensinya. Di mana, dana untuk pengadaan CBP akan jauh lebih besar dari dana pengadaan beras untuk Rastra, yang hanya mencapai sekitar Rp21,7 triliun,” urainya.
Anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih, beda lagi komentarnya. Menurutnya, Perum Bulog tetap bisa berkontribusi di program BPNT, yaitu melakukan operasi pasar murni. Tapi Bulog harus berbenah diri untuk menghasilkan beras yang berkualitas. Dampak ikutannya, fungsi dan peran Perum Bulog ke depan harus diubah. Sebab, jika Perum Bulog tidak dilibatkan dalam BPNT, maka tidak logis juga memerintahkannya untuk menyerap beras petani.
Dirut Perum Bulog, Djarot Kusumayakti, saat ditanya mengatakan pihaknya akan menuruti saja kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Karena yang terpenting adalah bagaimana menjaga agar petani tetap sejahtera dan masyarakat juga terpenuhi kebutuhan pangannya.
Pada tahun berjalan, tambah Djarot, pihaknya menargetkan penyerap gabah petani sebanyak 3,6juta ton setara beras. Namun hingga Kamis (21/9) lalu, baru terealisasi 1,6 juta ton Yang terdiri CBP sebanyak 290.000 ton, beras komersial 29.000 ton dan sisanya beras untuk public service obligation (PSO).
Pada acara itu, berkembang pula pendapat bahwa ketahanan pangan Indonesia masih jadi tantangan pemerintah. Padahal, kebutuhan pangan ke depan akan terus meningkat, yang dipicu oleh laju pertumbuhan penduduk. Peningkatan pendapatan, pergesaran selera konsumsi, konversi lahan hingga perubahan iklim global.
Dengan kondisi lahan dan jumlah penduduk serta luas lahan yang tidak seimbang, yakni daratan hanya 190 juta hektare (ha), namun harus melayani 258 juta masyarakat. Berbeda dengan negara Australia, yang daratannya lebih luas dibandingkan penduduknya, yakni sebesar 700 juta ha dan hanya melayani 24,5juta penduduknya. (M Raya Tuah)