Jakarta, Maritim
Ini dosa siapa. Nasib nota kesepahaman (MoU) empat badan usaha milik negara (BUMN) PT Krakatau Steel, PT Sarinah, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dan PT Boma Bisma Indra (BBI) untuk pengadaan bahan baku dan kebutuhan cangkul dalam negeri barangkali usianya hanya seumur jagung. Atau kurang satu tahun sejak MoU tersebut diteken.
Pasalnya, satu di antara empat BUMN tadi, yakni PT BBI menyatakan tidak bakal memproduksi lagi cangkul untuk keperluan domestik. Karena ketika dijual tidak laku di pasaran. Padahal, dari bunyi MoU, BUMN plat merah ini ditugasi pemerintah untuk memproduksi cangkul bagi kebutuhan dalam negeri.. Sehingga keperluan cangkul di dalam negeri tidak lagi diisi oleh cangkul impor.
“Sebenarnya, produksi sudah dihentikan sejak satu bulan lalu, karena cangkul yang kami hasilkan tidak laku dijual di pasaran. Konsumen lebih memilih cangkul impor illegal ketimbang milik kami. Sehingga kini di pasaran cangkul impor illegal makin marak dari pada cangkul produksi BBI,” ungkap Dirut PT BBI, Rahman Sadikin, saat dikonfirmasi melalui telepon genggamnya, kemarin
Sementara di tempat terpisah, pelaku usaha cangkul lokal PT Agro Industri, Anton Liong, menilai pemerintah baiknya segera turun tangan melakukan tindakan cepat di lapangan. Terutama membendung semakin membanjirnya cangkul impor illegal asal China yang masuk melalui pelabuhan Surabaya.
“Kami sebagai pelaku usaha cangkul lokal, yang selama ini sudah memproduksi cangkul untuk kebutuhan petani dalam negeri, juga meminta agar pemerintah segera meninjau ulang MoU yang sudah diteken empat BUMN beberapa waktu lalu itu. Karena hasilnya di lapangan tidak efektif menyelesaikan persoalan,” kata Anton, saat ditanya wartawan, kemarin.
Sekarang ini yang cukup mengkuatirkan di lapangan, sambung Anton, dalam waktu dekat pasar dalam negeri bakal dibanjiri oleh cangkul illegal asal China.
Dia menghitung, sebanyak lima kontainer barang haram sudah bersiap-siap akan membanjiri pasar domestik, ditambah tujuh kontainer lagi pada periode berikutnya. Sehingga jumlahnya mencapai 12 kontainer. Di mana satu kontainer berisi 25.000 hingga 30.000 pucuk cangkul.
“Saya minta pemerintah segera turun tangan. Jika hal seperti ini tidak bisa ditangani serius oleh pemerintah, lambat laun nasib industri cangkul lokal akan tergerus, lalu tutup. Buktinya pabrik saya ini yang dilarang pemerintah berkegiatan. Di satu sisi pemerintah membiarkan masuknya cangkul utuh. Sedangkan di sisi lain, saya mengimpor cangkul setengah jadi dilarang. Ini kan pemerintah tidak adil namanya,” urai Anton.
Padahal, lanjutnya, perusahaannya memiliki izin resmi dari pemerintah. Membayar pajak dan kewajiban lainnya. Dengan mengimpor cangkul setengah jadi perusahaan juga mampu menyerap banyak tenaga kerja dan membantu pemerintah mengatasi ledakan angkatan kerja.
Ditanya wartawan, Anton menjelaskan, pihak sudah melaporkan semua data yang dimilikinya kepada Dirjen IKM Kemenperin Gati Wibawaningsih. Namun belum ada tanggapan dari yang bersangkutan.
Sementara Dirut PT BBI, Rahman Sadikin, menambah saat ini sebanyak 100.000 unit cangkul produksi BBI ‘nongkrong’ di gudang. Karena tidak laku dijual di pasaran dan kalah bersaing dengan cangkul impor illegal.
“Saya tidak tahu mau diapakan cangkul ini. Mungkin nantinya kami bagi-bagikan saja ke masyarakat. Karena PT Sarinah dan PT PPI tidak mau mengambil barang tersebut. Padahal, melihat isi dari butir-butir MoU, BUMN itu ditugasi memasarkan dan mendistribusikan cangkul produksi kami,” papar Rahman. (M Raya Tuah)