DAMPAK yang segera tampak dari larangan pengoperasian alat tangkap ikan jenis cantrang mulai 1/1/2018: sejumlah pabrik surimi(pasta ikan) di Rembang Jateg, terpaksa berhenti produksi mulai 2/1/2018 kemarin. Penyebabnya, karena tidak ada bahan baku setelah cantrang dilarang. Tiga pabrik surimi yang dihubungi , menyatakan stop beroperasi karena kapal-kapal cantrang yang biasa memasok bahan baku tak lagi melaut.
Darwan, Direktur PT Indo Seafood katakan pabrik surimi yang beroperasi di bawah perusahaan tak lagi berproduksi karena kekurangan bahan baku. Pabrik dengan kapasitas pengolahan 50 ton per hari itu selama ini bergantung dari hasil tangkapan kapal cantrang nelayan di tempat pelelangan ikan. Di TPI tempat Indo Seafood biasa membeli ikan, hanya tersisa dua kapal cantrang yang belum bongkar dari biasanya 10 kapal per hari. Jumlah itu tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan baku Indo Seafood karena telah dibeli oleh pedagang dengan harga lebih mahal karena tipisnya pasokan.
“Habis itu sudah tidak ada yang melaut lagi. Kalau kapal tidak melaut, jadinya pabrik juga tak ada bahan baku. Sejauh ini kami belum berencana beralih ke bisnis lain.Kami ikut kapal saja. Nanti kalau kapal ikan beralih ke mana, ya kami ikut prosesnya, sesuai dengan kapal yang ada. Perusahaan dengan 300 karyawan ini biasa mengolah ikan rucah, sepertibloso, kuniran, dan kurisi, jadi 12,5 ton surimi. Sebanyak 80% hasil produksinya diekspor, a.l. ke Jepang, Taiwan, Malaysia, dan Singapura” jelas Darwan
Keputusan yang sama juga diambil oleh PT Holi Mina Jaya karena tidak ada jaminan bahan baku pada masa depan. Perusahaan inimengolah surimi dengan kapasitas 150 ton per hari dan ikan beku dengan kapasitas 30 ton per hari. Seluruh hasil produksi diekspor ke Asia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Tanto Hermawan Direktur Holi Mulia Jaya berucap: “Divisi surimi kami berhenti mulai hari ini, sebagai akhir bisnis pengolahan ikan yang kami mulai sejak 1995 di Rembang dengan nilai investasi Rp150 miliar dengan mempekerjakan 800 buruh harian dan 400 pekerja borongan ini,sekarang benarbenar knock-out”.
Terkait masalah ini, M. Abdi Suhufan Koordinator Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan memperbaiki sistem logistik ikan dari wilayah timur ke barat untuk mengatasi kesulitan bahan baku pabrik surimi setelah ada pelarangan cantrang. Menurutnya perbaikan logistik akan memuluskan pengiriman ikan-ikan demersal dari wilayah Indonesia timur ke pabrik-pabrik surimi di kawasan barat.
“Perum Perindo dan Perinus dapat diberi mandat tambahan amankan kebutuhan pabrik surimi. Kami menilai kelangkaan bahan baku yang dialami pabrik surimi merupakan dampak pelarangan cantrang yang tidak dimitigasi KKP. Padahal Presiden Joko Widodo ingin percepatan industrialisasi perikanan dengan mengeluarkan dua peraturan sejak 2016, yakni Inpres No 7/2016 dan Perpres No 3/2017. Kendati demikian, DFW berpendapat KKP harus konsisten dengan pelarangan cantrang. Upaya fasilitasi pengalihan, termasuk pembiayaan perbankan untuk nelayan cantrang di atas 10 gros ton, harus dijelaskan ke publik. Sejauh mana KKP berperan membantu hal ini, berapa kapal yang kreditnya bermasalah, berapa yang sudah difasilitasi, dan bagi yang belum, bagaimana rencana fasilitasinya” ujarnya Selasa (2/1/2018)lalu.
Sementara itu, Susi Pudjistuti Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti masih belum memberi penjelasan saat ditanya soal implementasi larangan cantrang. Sebelumnya, SjariefWidjaja Dirjen Perikanan Tangkap sebutkan 9.021 paket bantuan alat tangkap telah disalurkan ke nelayaan cantrang di bawah 10 GT selama 2015 hingga 2017. Untuk nelayan cantrang 10-30 GT, dikatakan dari 1.223 kapal, sekitar 700 di antaranya sudah berganti alat tangkap. Mereka juga telah mendaftar izin pusat karena berdasarkan pengukuran ulang, pemilik kapal diketahui telah melakukan markdown. Adapun untuk kapal cantrang di atas 30 GT, dia mengklaim 180 kapal telah berganti alat tangkap dan berganti area penangkapan dari pantai utara Jawa ke perairan Natuna dan Arafura.***MRT/2701