KASUS YACHT “EQUINIMITY” BARESKRIM KALAH PRAPERADILAN

Tegal Jatng, Maritim

LEWAT kerjasama cukup lama antar intitusi penegak hukum FBI (AS)–Polis Diraja (Malaysia) – Bareskrim (Kepolisian RI), kapal pesiar mewah “Equanimity” berbendera Cayman, dengan taksiran harga Rp.3,5 Triliun, berhasil ditangkap di lepas pantai Pulau Lombok NTB. Kapal itu diduga berada di perairan Indonesia sejak November 2017, setelah sebelumnya berada di perairan lepas pantai Phuket, Thailand.

Proses berlanjut, setelah sempat ditegah di wiayah hukum Polda Bali, kemudian dilayarkan ke Jakarta yang atas permintaan FBI, kapal tersebut disita oleh Tipideksus Bareskrim Polri, hingga ada upaya praperadilan oleh penasihat hukum pemilik yacht. Yang terjadi kemudian: Hakim praperadilan Ratmoho menyatakan penyitaan yacht milik  (Cayman) Ltd Islands tidak sah. Karenanya Bareskrim Polri diminta mengembalikan yacht tersebut.

Membacakan putusan praperadilan di Jakarta (17/4/2018), hakim katakan:”Menimbang, hakim menilai termohon (Bareskrim Polri) tidak dapat membuktikan dalil sangkalannya. Memperhatikan ketentuan UU Nomor 1/2006. Mengadili, dalam eksepsi, menolak eksepsi yang diajukan termohon. Dalam pokok perkara mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh pemohon untuk sebagian”.

Hakim dalam putusannya membatalkan surat penyitaan, kemudian Bareskrim diperintahkan mengembalikan yacht yang disita. Sambung Ratmoho: “Menyatakan sita terhadap kapal “Equanimity” terhadap pemohon berdasarkan surat perintah penyitaan tidak sah dan tidak berdasarkan hukum. Membatalkan surat perintah penyitaan, menghukum temohon untuk mengembalikan kapal yacht “Equanimity” kepada pemohon”.

Dalam pertimbangannya, Ratmoho nyatakan seharusnya Polri dalam penyitaan mengikuti aturan UU Nomor 1/2006. Izin penyitaan harus lebih dulu disampaikan ke Menkum HAM.

“Salah satu bukti surat yang diajukan FBI dari Kedutaan AS di Jakarta tentang permintaan melakukan operasi gabungan, dan tak  menyita kapal yang diburu. Seharusnya Polri hanya melajukan operasi gabungan saja. Isi surat tersebut dinyatakan kalau kapal Equanimity telah disita atas kerugian sipil di AS sehingga Polri telah melampaui kewenangannya dalam melakukan penyitaan, karena yang diminta adalah untuk melakukan operasi gabungan, tetapi Polri malah melakukan perkara pidana sendiri dan berdasarkan KUHAP”.

Permohonan praperadilan sebelumnya diajukan tim kuasa hukum “Equanimity” dalam sidang, Senin (9/4). Pihak pemohon memaparkan sejumlah alasan gugatan praperadilan terhadap penyitaan yacht berdasarkan Surat Perintah Penyitaan Nomor SP Sita/41/II/RES .2.3/2018/Dit Tipideksus tertanggal 26 Februari 2018 oleh Bareskrim Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus. Kata kuas hukum Andi F. Simangunsong saat membacakan

Permohonan praperadilan: “Penyitaan yang dilakukan tidak sah karena melanggar prosedur penyitaan dalam UU Nomor 1/2006 (tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana)”.

Dipaparkan pula, berdasarkan dokumen penyitaan, yacht disita terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan tindak pidana asal pidana korupsi di Malaysia dan dugaan TPPU yang terjadi di AS. Bareskrim disebut pemohon dalam pemberitaan juga menyatakan penyitaan dilatarbelakangi adanya permintaan dari otoritas AS sehubungan diterbitkannya surat perintah penyitaan atas objek sita dari pengadilan di AS. Hal ini, menurut tim kuasa hukum, bertentangan dengan UU Nomor 1/2006.

Banyak pendapat beredar diklanan praktisi hukum, maupun pemerhati penegakan hukum. Banyak yang setuju penyitaan, tetapi banyak pula yang mempertanyakan kewenangan penyitaan tentang kasus yang terjadi di luar wilayah hukum negara RI, terhadap obyek dan pelakunya yang tak memiliki kaitan yurisprudensi dengan Indonesia. ***ERICK  A.M.

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *