Balikpapan, Maritim
PERAIRAN di Teluk Balikpapan, Kaltim yang jadi lokasi tumpahan minyak mentah jenis solar milik Pertamina, dipastikan bukan kawasan konservasi perairan yang dikelola Pemerintah Indonesia ataupun pihak lain. Namun pemerintah siap mnaangani kasus tersebut secara komprehensif dan melibatkan berbagai sumber daya yang ada. Andi Rusandi Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP jelaskan, kasus tumpahnya minyak yang berpotensi mengancam keberlangsungan ekosistem dan biota laut yang ada di dalam perairan tersebut, merupakan bencana yang harus ditangani bersama.
Menurut Andi, sebagai bencana ekologi nasional, tumpahan minyak di Teluk Balikpapan juga bisa mengancam masyarakat pesisir sebagai stakeholder sektor perikanan dan kelautan. Tetapi, untuk mengukur potensi ancaman di kawasan itu, sebaiknya dilakukan pemantauan langsung oleh tim ahli. KKP melalui Balai Pengelolaan Sumber Daya Laut dan Pesisir (BPSLP) Pontianak bersama tim dari instansi lain, telah mengukur dan memantau ancaman maupun dampak kerusakan yang ditimbulkan.
“Kami sedang pantau apa yang rusak di bawah perairan. Apakah ada mangrove atau lamun yang terkena dampaknya. Atau, biota laut apa saja yang terdampak. Selain pesut sebagai mamalia air tawar, juga akan dicari biota laut lainnya, Semua prosesharus diberi waktu yang cukup. Maka kami mnta masyarakat sabar menunggu hasil survai, sambil saling memberi pemahaman tentang bencana tersebut” tutur Andipula.
Bencana tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, terjadi setelah pipa bawah laut terminal Lawe-lawe putus ke arah fasilitas refineery PT Pertamina, dan semburkan minyak mentah mengotori perairan yang menurut KLHK mencapai 7.000 hektar,dan telah mengotori pantai Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir sepanjang 60 kilometer. Akibatnya, lima orang meninggal dan seekor pesut mati. Warga di kawasan pesisir mulai mual dan pusing yang diakibatkan bau menyengat. KLHK juga melaporkan ada kerusakan ekosistem mangrove di sejumlah lokasi. Mangrove yang mengalami kerusakan 34 ha di Kelurahan Kariangau,6.000 mangrove di Kampung Atas Air Margasari, dan 2.000 bibit mangrove mili warga kampung Atas Air Margasari. Juga ada kepiting mati di Pantai Banua Patra tak jauh dari permukiman warga. Tumpahan minyak yang mencemari kawasan perairan, juga akibatkan permukiman warga di Kelurahan Margasari, Kampung Baru Hulu, Kampung Baru Hilir, dan Kariangau terkena dampaknya. Rumah-rumah yang ada di pinggir pantai dan berlokasi di Kecamatan Balikpapan Barat itu, di bawahnya diketahui ada tumpahan minyak.
Bencana yang terjadi di pesisir kota terbesar di Kalimantan Timur itu, dapat sorotan tajam Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Menurut Sekjen KIARA Susan Herawati, penegakan hukum wajib dilakukan, sesuai UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Menurut data KIARA, selama periode 1998 – 2017, terdapat 37 kasus tumpahan minyak mentah di perairan Indonesia. Kasus-kasus tersebut, beberapa di antaranya terjadi di perairan Timor, NTT akibat ledakan ladang minyak di Blok Atlas Australia milik Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP). Ungkap Herawati: “Kerugian ekologis akibat pencemaran ini belum dipulihkan”. ***ERICK A.M.