Musim gugur jurnalisme media cetak saat ini berlangsung demikian hebat. Tak hanya di Indonesia, tapi seluruh dunia. Dulu para petugas pengantar koran/majalah dinanti kehadirannya setiap pagi. Sekadar menjawab rasa penasaran tentang berita-berita yang terjadi hingga dini hari.
Tapi kini, siapa yang peduli? Sejak munculnya smartphone plus kemudahan akses internet, informasi hadir saat itu juga. Tak perlu menunggu wartawan mengetik berita, lay out, masuk percetakan dan diedarkan.
Saat ini, menerbitkan media cetak bisa dianggap sebagai upaya merawat idealisme. Harga kertas, biaya cetak dan kecepatan waktu edar menjadi persoalan yang terus menguntit para pengelolanya. Belum lagi tren yang menunjukkan peralihan kebiasaan membaca dari cetak ke media-media online.
Meski banyak yang sudah berguguran, namun masih tetap ada media cetak yang konsisten menyapa pembaca. Salah satunya adalah Maritim. Sejak pertama kali terbit di tahun 1994, media yang sebelumnya bernama Bisnis Maritim ini rutin terbit mingguan dalam format tabloid.
Seperti halnya orang mengenal Kompas dengan sosok Jacob Oetama atau Pos Kota dengan sosok Harmoko, Maritim pun tak lepas dari satu sosok bernama H Jacub Hamzah.
Pak Jacub, demikian sosok tersebut biasa disapa, telah mengelola media ini selama hampir 24 tahun. Sebuah perjalanan panjang untuk sebuah media penerbitan. Di antara rentang waktu tersebut, tak sedikit wartawan yang melakukan liputan di pelabuhan maupun sektor kelautan saat ini bisa disebut sebagai “alumni Maritim”.
Seperti halnya profesi yang lain, wartawan datang dan pergi di Maritim dan juga media-media lainnya merupakan keniscayaan. Ada yang mendirikan media sendiri, dipercaya pemilk modal untuk mengelola atau tetap menjadi wartawan dalam bendera penerbitan yang berbeda.
Sebagai nakhoda penerbitan, Pak Jacub tetap berusaha agar pergantian ‘ABK’ tidak membuat kapal oleng atau terguncang. Dia terus berusaha agar kapal berjalan sesuai dengan alurnya. Proses learning by doing bagi ‘ABK-ABK’ muda yang kadang baru lulus kuliah terus dilakukan. Hasilnya, selama kurun waktu 24 tahun terakhir ini Maritim tak pernah absen menyapa pembaca. Berbagai upaya terus dilakukan agar Tabloid Maritim bisa tetap eksis memberitakan informasi pelabuhan, pelayaran, logistik maupun sektor maritim lainnya.
Bagi H. Jacub Hamzah, upayanya mempertahankan Maritim seolah merupakan penghargaan terhadap proses kerja keras. Apalagi untuk sekadar mendapatkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) di era rezim Orde Baru susahnya minta ampun. Berbeda dengan era sekarang yang tanpa SIUPP sekalipun bisa menerbitkan media.
Maka ketika Pos Kota sebagai induk perusahaan saat itu berencana untuk menghentikan penerbitan Maritim, dia meminta kepada pengelola koran terbesar di Ibukota itu untuk menerbitkan Maritim secara mandiri.
Kenyataannya, menerbitkan media di bawah induk perusahaan yang sudah survive dengan menerbitkan sendiri bukanlah hal yang mudah. Jika sebelumnya hanya tinggal memasok berita, kini semua urusan penerbitan dari edit berita, lay out, cetak sampai distribusi harus ditangani sendiri.
Untungnya, sebagai wartawan senior yang juga aktif di organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), relasinya demikian banyak. Dari para relasi itulah, Maritim bisa mendapatan pemasukan baik dalam bentuk pemasangan iklan maupun pendistribusian tabloid ke perusahaan-perusahaan. Dan di antara para relasi itu tak sedikit yang saat ini sudah menjadi pejabat baik di pelabuhan, pelayaran maupun logistik.
Jika saja usia bisa ditawar, mungkin H Jacub Hamzah masih ingin terus membesarkan Maritim. Meskipun dia tahu, era sudah banyak berubah. Musim gugur penerbitan media cetak pun telah tiba. Tapi sebagai sebuah cita-cita, sosok yang juga dikenal aktif dalam organisasi Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) ini telah membuktikan konsistensinya untuk terus menerbitkan Maritim dalam versi cetak.
Kenyataannya, usia memang tak bisa ditawar karena semua memang sudah menjadi ketentuanNya. Sabtu, 2 Juni 2018 atau tepat tanggal 17 Ramadan, Pak Jacub berpulang keharibaan Tuhan Yang Maha Kuasa setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, dan Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, di usia 78 tahun.
Selamat jalan Pak Jacub. Terima kasih atas segala sumbangsihmu dalam dunia jurnalistik Indonesia. Terima kasih atas konsistensimu menerbitkan Maritim sebagai pelopor berita kemaritiman di negeri ini. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun.
*K. Faisal