JAKARTA, MARITIM.
Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) membantah adanya anggapan pihaknya tidak peduli terhadap pelaut yang menghadapi masalah di luar negeri. Namun penyelesaian masalahnya tetap diprioritaskan bagi pelaut anggota KPI yang dilindungi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Collective Bargaining Agreement (CBA) yang ditandatangani oleh KPI dengan pemilik/operator kapal.
Hal ini ditegaskan Presiden KPI Prof. Dr. Mathias Tambing seusai membuka workshop “Membangun Serikat Pekerja yang Berkapasitas” di Jakarta, Rabu (25/7/2018). Workshop dua hari yang diikuti seluruh pengurus KPI di tingkat pusat dan cabang itu selain bertujuan meningkatkan kualitas organisasi, juga untuk menyamakan pemahaman tentang kebijakan tentang pelaut yang dikeluarkan pemerintah.
Prof. Mathias Tambing mengaku pihaknya banyak menerima pengaduan tentang pelaut yang menghadapi masalah.Termasuk dari Kemenlu RI setelah menerima laporan dari KBRI/KBJRI di beberapa negara.
“Dalam satu bulan ini saja KPI menerima 4 laporan kasus pelaut dari Kemenlu. Yang jelas semuanya bukan anggota KPI,” tegasnya tanpa menjelaskan kasusnya,
Setelah ditelusuri, sambung Mathias, kebanyakan pelaut yang menghadapi masalah itu ternyata bukan anggota KPI, sehingga sulit dilacak perusahaan tempat kerjanya dan bahkan tidak dapat diselesaikan. Tapi jika anggota KPI akan mudah ditemukan karena perusahaan/kapal tempat kerjanya jelas berdasarkan CBA yang sudah ditandatangani.
“KPI dapat saja memberikan bantuan kepada WNI yang bermasalah, tapi bantuan sangat terbatas karena ketidakjelasan status pengerjaan pelaut maupun identitas perusahaan yang mempekerjakannya,” ujarnya.
Implementasi MLC
Di sisi lain, KPI mendesak pemerintah segera menerbitkan regulasi nasional sebagai implementasi konvensi ILO tentang MLC (Maritime Labour Convention) yang telah diratifikasi dengan UU No. 15/2016. Diharapkan regulasi ini dapat mengharmonisasikan dengan peraturan serupa yang sudah ada sebelumnya.
“Paling tepat regulasi baru ini berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) sehingga dapat diterapkan secara nasional, sekaligus mencegah munculnya ego sektoral di antara kementerian terkait,” kata Sekretaris Jenderal KPI, I Dewa Nyoman Budiasa.
Ia berharap aturan turunan UU 15/2016 ini paling lambat diterbitkan akhir 2018, karena sudah melewati dua tahun sejak ratifikasi MLC 2006 itu disahkan melalui undang-undang.
Menurut Budi, undang-undang baru ini harus mengatur standarisasi untuk perlindungan dan kesejahteraan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal berbendera Indonesia, baik yang beroperasi di perairan domestik Indonesia maupun foreign going. Hal itu dikarenakan implementasi konvensi yang telah diratifikasi suatu negara harus diberlakukan di negara/kapal-kapal berbendera negara tersebut, bukan kapal asing.
Disamping itu ia juga mengatakan bahwa perekrutan, penempatan & perlindungan pelaut yang bekerja di kapal-kapal asing foreign going juga harus menjadi bagian dan diatur dalam UU tersebut dengan mengikuti ketentuan-ketentuan MLC 2006.
Implementasi UU 15/2018 juga menjadi acuan dalam membuat model PKB/CBA yang fundamental sesuai aturan MLC.
Karena itu, diperlukan serikat pekerja yang berkualitas untuk merumuskan perlindungan dan kesejahteraan pelaut domestik yang kini masih terabaikan. “Di sini lah pentingnya workshop bagi pengurus KPI untuk mewujudkan serikat pekerja yang berkapasitas,” tegasnya.
Selama ini, lanjut Budi, KPI terkesan belum menyentuh pelaut domestik yang bekerja di kapal nasional, karena hingga saat ini belum ada standar yang mengatur, termasuk standar gajinya. Dengan adanya standarisasi ini, maka perlindungan dan kesejahteraan pelaut domestik dipastikan akan lebih terjamin.
“Ini perlu menjadi prioritas pemerintah dalam rangka merealisasikan Nawacita Presiden Jokowi, khususnya mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia,” pungkas Nyoman Budiasa.
***Purwanto.