Surabaya, Maritim
DIRUNUT dari genekologisnya, usaha pelayaran penyeberangan di Indonesia, memang menampakkan sifat ambigu. Di satu sisi, kapal-kapal penyeberangan disebut sebagai sarana penghubung dua jalan darat yang “terputus” oleh selat, seperti yang terjadi pada selat yang memisahkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa (Selat Sunda). Atau “segara rupeg” Selat Bali yang pisahkan Jawa dengan Bali. Karena truk bermuatan barang atau bis pengangkut orang harus diangkut menggunakan “jembatan bergerak” berupa kapal penyeberangan, maka kepengaturannya berinduk ke Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Disebabkan adanya peran kapal-kapal penyeberangan ferry roll on – roll off (ro-ro), maka secara teknis operasional lintas laut/penyeberangan juga berinduk ke Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Keduanya merupakan merupakan institusi kedinasan Kementerian Perhubungan.
Namun berbeda dengan Indonesian National Ferryowners Association (INSA), pemilik kapal feri yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau & Penyeberangan (Gapasdap), masih keberatan terhadap kewajiban penggunaan angkutan penyeberangan yang berbobot minimal 5.000 GT (gros tonnage) di lintas Merak-Bakauheni.
Khoiri Soetomo Ketua Umum DPP Gapasdap mengatakan, apabila dipaksakan penerapan kewajiban itu akan menimbulkan iniefisiensi. Masalahnya, kondisi muatan ramai (peak time) di lintas Merak-Bakauheni hanya terjadi 30% dari 24 jam sehari. Selebihnya selama pukul 04.00-22.00 atau 70%, sepi muatan (off peak time). Ungkap Khoiri, Senin (3/9/2018) lalu: “Kalau aturan ini dipaksakan sekarang, akan mwengakibatkan pemborosan. Apalagi dalam sebulan, kapal-kapal hanya beroperasi kurang dari 12 hari”.
Menurut Gapasdap, pada saat ini telah terjadi oversupply kapal yang sangat besar. Setiap hari setidaknya ada 40 unit kapal yang berhenti menunggu giliran operasi, karena jumlah dermaga yang kurang. Muatan juga sangat minim karena bersaing dengan pelabuhan lain Bojanegara-Bakauheni.
Terkait hal itu, Ketua Gapasdap menyatakan kekhawatiran terjadi pemborosan sumber daya, terutama bahan bakar yang terbuang sia sia karena kapal besar harus memuat jauh lebih kecil dari kapasitasnya. Di sisi lain, Gapasdap berharap moratorium perizinan segera dilaksanakan. Karena, anggota asosiasi banyak yang sekarat akibat operasi yang tak efisien, sedangkan gaji karyawan dan perawatan kapal terus berjalan.
Gapasdap usulkan lebih baik pemerintah menambah pembangunan dermaga baru,karena lebih efektif dibanding dengan mengganti kapal kecil dengan kapal besar. Dengan tambahan satu pasang dermaga dari kondisi eksisting enam dermaga, maka jumlah kapal yang bisa beroperasi bertambah enam yang semula off. Dalam hitungan Gapasdap, biaya membangun sepasang dermaga sama dengan biaya membeli dua unit kapal.
Memungkasi poenjelasan, Ketua Umum Gapasdap berucap: “Demi kepentingan nasional seluruh pemangku kepentingan angkutan penyeberangan, kami sangat berharap Kemenhub akan mengkaji ulang Permenhub No 88/2014. Gapasdap sekarang tak hanya berjuang untuk kepentingan asosiasi operator, tetapi juga untuk seluruh pemangku kepentingan dari mana pun asalnya”.
Kondisi Lintas Merak-Bakauheni
– jumlah total kapal 70 unit
– jumlah kapal yang berukuran di bawah 5.000 GT 27 unit atau 38% dari total kapal dengan ukuran rerata 3.661 GT
– jumlah kapal yang berukuran di atas 5.000 GT 43 unit dengan rerata ukuran 7.575 GT
– jumlah kapal yang beroperasi setiap hari 34 unit dengan jumlah dermaga 6 pasang
– jumlah hari operasi rerata setiap kapal 12 hari per bulan.***ERICK ARHADITA .