Jakarta, Maritim
DALAM rangka mengantisipasi kenaikan konsumsi ikan domestik, setidaknya dalam dua tahun mendatang Kementerian Kelautan dan Perikanan berencana mengembangkan klasterisasi budi daya perikanan berbasis komoditas unggulan daerah. Sjarief Hidayat, Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDM KKP) menjelaskan bahwa tahun 2017 lalu dengan estimasi jumlah penduduk sekitar 263 juta jiwa dan konsumsi ikan per kapita mencapai 43 kilogram per tahun, kebutuhan produksi perikanan Indonesia mencapai sedikitnya 11,309 juta.
Tahun ini, dengan estimasi jumlah penduduk yang sama dan target konsumsi per kapita yang diharapkan bisa mencapai 47 kilogram per tahun, kebutuhan ikan dalam negeri akan mencapai 12, 361 juta ton. Pada 2019, dengan target konsumsi ikan 54 kilogram per kapita per tahun, maka total kebutuhan konsumsi ikan segar dalam negeri akan mencapai 14,202 juta ton per tahun. “Hal ini, belum mempertimbangkan laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lain seperti industri perikanan hilir,” katanya dalam konferensi pers di sela-sela Seminar Nasional Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan 2018, Senin (24/9/2018).
Salah satu program yang telah dilaksanakan dan diwujudkan, adalah pengembang biakan rajungan di Demak (Jawa Tengah), Lampung Timur, dan Kendari (Sulawesi Utara). Menurut Sjarief, para nelayan di daerah-daerah tersebut dikenalkan dengan teknologi pengelolaan rajungan berkelanjutan. Nelayan di daerah tersebut selain dikenalkan dengan model atau siklus hidup rajungan, juga memberi bimbingan untuk memetakan kawasan pemijahan (pelepasan telur dan sperma untuk pengembangbiakan), daerah produksi, daerah no take zone (dimana pemanenan atau penangkapan tidak diperbolehkan) serta waktu yang tepat dalam melakukan pemanenan atau penangkapan rajungan.
“Yang tadinya mereka menangkap rajungan seperti apa adanya, apa maunya mereka tetapi dengan pengaturan-pengaturan itu akhirnya kita menghindari penangkapan rajungan yang sedang bertelur, misalnya. Akhirnya mereka sadar, kalau yang bertelur ditangkap semuanya, maka lama-kelamaan akan habis. Karfenaya, mulai dilakukan penataan” jelas Sjarief.
Selain diajarkan mengatur masa dan cara produksi rajungan segar untuk konsumsi, kepada nelayan juga diajarkan mengolah rajungan menjadi produk bernilai tambah. Metode yang sama juga telah dilakukan di Ciseeng, Bogor yang merupakan salah satu daerah penghasil ikan gabus. Selain untuk kebutuhan konsumsi dalam bentuk ikan segar, gabus juga diketahui menyimpan albumin, sejenis protein yang salah satu fungsinya adalah membentuk jaringan sel baru dan kerap kali dibutuhkan pasca pembedahan ataupun penyembuhan luka bakar. Untuk itu, selain mengenalkan proses budi daya gabus mulai dari mengembangkan hatchery, pendederan, pembesaran, untuk mendoring produksi gabus serta penyalurannya sebagai salah satu komoditas kuliner, masyarakat juga diajal untuk ikut masuk ke industri ekstraksi albumin dari ikan gabus.
Sjarief menargetkan pihaknya meluncurkan sedikitnya 120 penelitian siap implementasi dalam satu tahun ke depan yang dimulai pada September tahun 2018 ini terkait dengan klasterisasi ini.
Untuk memberi kepastian bagi komunitas nelayan dan pemain terkait lainnya, pihaknya juga akan mendorong agar pemerintah-pemerintah daerah bisa menyusun peraturan daerah (Perda) yang mendukung program ini seperti yang sudah dilakukan di Demak dan Ciseeng.
Dengan adanya perda sebagai payung perlindungan usaha para komunitas nelayan, diharap selanjutnya pemerintah juga dapat ikut terlibat langsung dalam mendukung pengembangan produksi dan industri berbasis klaster ini.
Memungkasi penjelasannya, Sjarief Hidayat katakan: “Perlindungan dalam bentuk perda itu akan dapat membantu mereka dalam menbdapat kepastian bisnis yang akan sifatnya akan sustainable, berkelanjutan”..***ERICK ARHADITA