Singaraja Bali, Maritim
DALAM sejarah bencana alam dahsyat di Indonesia, tercatat peristiwa gempa bumi besar tahun 1815, dengan pusat gempa diperkirakan di laut sebelah utara kerajaan Buleleng Bali utara. Ibukota Buleleng yaitu Singaraja mengalami kerusakan parah. Gempa bumi tersebut menggetarkan seluruh pulau Bali, hingga disebut Gejer Bali (Bali bergetar). Selain di Bali, getaran kuat juga dirasakan hingga ke Surabaya, Lombok, dan Bima.
Naskah yang disimpan oleh Anak Agung Ngurah Sentanu (keturunan Ki Panji Sakti, pendiri dinasti raja-raja Buleleng), di Puri Ayodya Singaraja memaparkan secara rinci bahwa pada hari Rabu umanis kurantil tahun Saka 1737 yaitu 22 November 1815 Masehi jelang tengah malam, gempa bumi besar mengguncang. Getaran gempa itu mengakibatkan pegunungan yang berada di sebelah selatan negeri itu mengalami keretakan, kemudian longsor dengan suara menggelegar seperti guntur, dan menimpa Singaraja
Desa-desa ikut tersapu dan “tumpah” ke laut yang bergelombang hingga ketinggian 9-10,5 meter. Bencana ini mengakibatkan 10.523 orang meninggal dunia. Banyak pejabat penting kerajaan yang jadi korban, namun Raja Buleleng I Goesti Angloerah Gde Karang selamat.
Catatan serupa juga dijelaskan di dalam Babad Ratu Panji Sakti dan Babad Buleleng yang tersimpan di Museum Lontar “Gedong Kirtya”. Babad, seperti halnya piagem dan purana, merupakan catatan resmi kerajaan-kerajaan di Bali tentang kejadian sejarah. Dalam kedua Babad itu, lebih dituturkan tentang bencana susulan pasca gempa yaitu longsor dan air bah.
Potensi Bencana: Gempa bumi besar 22 November 1815 ini ditengarai juga menimbulkan Tsunami. Laporan di dalam Catalogue of Tsunami on the Western Shore of the Pasific Ocean yang disusun oleh S.L. Soloviev dan CH.N. Go mendeskripsikan adanya air laut yang naik dan menerjang daratan dalam jangkauan yang luas pasca gempabumi. Pertanyaan yang timbul ialah: apakah gempa yang memicu terjadinya tsunami pada tanggal 22 November 1815 itu merupakan rangakain bencana yang ditimbulkan oleh letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa pada 5 April 1815 ?
Akibat Gejer Bali itu, Sebanyak 1.200 orang menjadi korban, disebabkan bencana susulan naiknya air laut ke daratan. Tentu saja istilah Tsunami belum dikenal oleh penduduk pulau Bali saat itu. Karena gempa dahsyat yang memprakporandakan daerah Tsunami di Jepang yang menewaskan 15.265 orang dan 5.363 luka berat/ringan serta 8.526 orang hilang, baru terjadi pada 11 Maret 2011
Katalog lain milik dari Tsunami Laboratory di Intitute of Computational Mathematics and Mathematical Geophysics, Rusia menyatakan bahwa Gejer Bali 1815 memicu Tsunami. Mereka meyakini peristiwa tersebut sebagai Tsunami dengan tingkat validitas 75% yang disebabkan oleh aktivitas gempabumi tektonik dan longsoran tanah (Tectonic-Landslide).
Tanggal 22 November 2015, tiga tahun silam, tepat 200 tahun Gejer Bali terjadi, ditandai dengan peringatan yang sederhana, tetapi memiliki makna mendalam. Peringatan ini berusaha membuka memori terkait potensi bencana yang dapat terjadi dari patahan belakang busur kepulauan. Pada kesempatan itu, diusahakan menceritakan ulang kisah lama dibalut perspektif ilmu kebumian modern agar siapa saja yang hidup pada masa kini akan mampu memahami keseimbangan alam, ada bencana ada pula kertha masa. Peringatan dan diskusi dilaksanakan di Puri Kanginan Singaraja yang merupakan saksi Gejer Bali.
Dalam diskusi terdapat 3 orang pembicara yang mengupas peristiwa alam ini dari 3 sudut berbeda. Pertama AAN Ngurah Sentanu, yang memaparkan kondisi sosial yang terjadi tahun 1815 tatkala bencana datang silih berganti. Ujar tokoh penggerak industri pariwisata Bali ini: “Pada awal tahun, Gunung Tambora meletus. Letusannya hingga ke Bali dan karena debu vulkaniknya menutupi seluruh bumi maka ilkim menjadi berubah. Di Bali terjadi hujan terus menerus, danau meluap. Selanjutnya disusul oleh longsoran dan gempabumi di akhir tahun. Bencana datang terus menerus. Namun pada tahun 1830an Bali menjadi subur, pertanian meningkat. Tetua kami menceritakan berkarung-karung beras datang dari Tabanan dengan diangkut kuda untuk selanjutnya diekspor ke negara lain lewat Pelabuhan Buleleng yang kala itu merupakan pelabuhan niaga terbesar di Bali”.
Pembicara kedua, I Made Kris Adi Astra memaparkan kompleksnya tatanan geologi yang mengapit Bali dan Nusa Tenggara. Dari selatan ada penunjaman lempeng tektonik Indo-Australia di bawah lempengan Eurasia. Gesekan lempeng ini menghasilkan gempabumi. DI utara Bali terdapat Patahan belakang busur kepulauan. Jelasnya: “Patahan belakang busur kepulauan memanjang dari Laut Bali, Utara Lombok, Flores hingga ke laut Banda.
gempabumi yang dihasilkan ada pada kedalaman dangkal, hingga apabila dengan magnitudo besar akan merusak. Beberapa contoh gempabumi yang dihasilkan adalah gempabumi pada 22 November 1815. Tepat di usianya yang ke 200 tahun ini adalah momentum yang tepat sebagai pengeling-eling atau pengingat dan penyadaran kembali bahwa kita hidup di daerah dengan potensi bencana yang tinggi”
Tahan Gempa: Pembicara ketiga, Gede Kresna dari Rumah Intaran memaparkan strategi adaptasi bencana yang diwariskan leluhur orang Bali sendiri melalui bangunan tradisional. Arsitek yang juga penggiat kehidupan tradisional ini menuturkan bahwa “Kita diwarisi kualitas-kualitas lokal yang luar biasa. Rumah-rumah Bali yang dubangun sesuai petunjuk arsitektur/fengshui Bali kuno Asta Kosala-Kosali yang memiliki sistem tangguh dengan berbahan kayu dan memiliki bale di dalamnya.
Temboknya berbahan tanah polpolan, sehingga apabila terjadi gempabumi, struktur tetap berdiri, meskipun tembok akan jatuh ke samping karena gravitasi. Pada gempabumi Buleleng 1976, rumah di desa kuno Sidatapa hanya mengalami sedikit kerusakan, dibanding di Seririt yang merenggut korban jiwa masif.
Hal ini disebabkan karena beralihnya pilihan ke membangun rumah baru berbahan beton yang belum sempurna pemahamannya kala itu. Banyak korban tertimpa beton . Hal serupa juga dibuktikan di wilaya lain di Indonesia seperti di Nias yang rumah tradisionalnya teruji tahan gempabumi”.
Pemicu Gempa: Peristiwa gempa yang kerap terjadi di Bali hingga Nusa Tenggara Timur, dipicu dua formasi geologi pembangkit gempa. Pertama: penunjaman lempeng tektonik Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia. Lempeng tersebut berdinamika membentuk jalur gempa memanjang dari Andaman-Nicobar-Sumatera- Selatan Jawa- Selatan Bali-Nusa Tenggara hingga Laut Banda. Jalur ini dinilai sangat aktif membangkitkan gempabumi dalam berbagai kekuatan dan kedalaman. Bahkan pusat gempa mencapai kedalaman diatas 500 kilometer di kawasan busur kepulauan Bali-Nusa Tenggara.
Kedua: patahan naik belakang busur kepulauan atau biasa disebut Back Arc Thrust. Patahan ini memanjang dari Flores melewati utara NTB dan perpanjangnya hingga ke laut Bali di sebelah utara Pulau Bali. Ciri dari gempabumi yang dihasilkan adalah memiliki kedalaman dangkal. Apabila gempabumi berkekuatan magnitude besar terjadi di jalur ini akan berakibat sangat merusak.
Selain getaran tanah yang bergejolak, kerap membawa bencana susulan seperti tanah longsor dan Tsunami. Gejer Bali 22 November 1815, Gempabumi Bali 21 Januari 1917, gempa-Tsunami Flores 12 Desember 1992 dan gempabumi Alor 4 November 2015 disebabkan oleh pergerakan dua blok batuan besar di zona patahan ini.
Upaya Mitigasi: Gempabumi memiliki kecenderungan berulang, namun belum dapat diprediksi presisi kapan waktunya. Menyadari potensi ancaman yang tidak terpredisi ini, langkah-langkah pengurangan resiko bencana mutlak dilaksanakan untuk antisipasi di masa mendatang.
BMKG yang bekerjasama dengan LIPI, BNPB dan TNI-AL melakukan kegiatan pelatihan antisipasi bencana Tsunami di Buleleng pada tanggal 8-10 Desember 2010. Kegiatan yang bertajuk Evakuasi Mandiri Bagi Masyarakat Pantai Terhadap Bahaya Tsunami tersebut bertujuan untuk memberi pemahaman akan Tsunami dan tindakan apa yang harus diambil ketika bencana datang.
Pada tahun 2015, BMKG memasang sirine peringatan dini Tsunami di Lapangan Umum Seririt. Sirine ini diresmikan dan dicobakan pertama kali pada tanggal 29 September 2015. Perintah pembunyian dilaksanakan dari Ruang Pusdalops BPBD Provinsi Bali di Renon Denpasar. Sirine yang terintegrasi ke sistem peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS) ini diharap dapat memberi peringatan kepada warga sebelum Tsunami menerjang. Terdapat celah waktu antara gempabumi dan kedatangan Tsunami, yang diharap dapat dimanfaatkan dengan baik untuk menyelamatkan jiwa. Astungkara ! ***ERICK ARHADITA