Semarang, Maritim
SELAMA ini Provinsi Jawa Tengah dinilai hanya lebih menonjolkan 4 obyek wisata unggulan seperti Dieng, Borobudur, Karimunjawa dan Sangiran. Karenanya, pelaku wisata di Jateng merasa kurangnya branding untuk beberapa tempat wisata. Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata (Asita) Jateng Joko Suratno mengatakan, selama ini kurangnya branding dan pengelolaan masih jadi kendala utama tumbuhnya pariwisata di Jateng.
Selain itu, aksesibilitas menuju tempat wisata juga harus dipikirkan oleh pemerintah. Dalam keterangannya, Joko Suratno katakan: “Selama ini yang masih jadi kendala adalah branding dan pengelolaan. Sebetulnya Jateng punya banyak potensi wisata yang sedang berkembang, hingga bantuan dari pemerintah harus dimaksimalkan”.
Di sisi lain, Jateng juga memiliki paket wisata unggulan yang banyak menggaet wisatawan domestik maupun mancanegara, yakni Yogya Solo dan Semarang, yang punya kemiripan culture khas Jawa hingga menarik bagi wisatawan. Hal ini juga disebabkan oleh kemudahan transportasi, antara lain dengan adanya Bandara di Karimunjawa, hingga pariwisata Jateng sudah memiliki daya saing secara nasional.
Menurut Joko Suratno: “Industri pariwisata Jateng memang sedang tumbuh. Ini seiring dengan kemudahan transportasi yang tersedia, hingga mempermudah para wisatawan mengunjungi obyek wisata yang dituju. Untuk lebih mendorong pertumbuhan wisata di Jateng, Asita Jateng sedang melirik wisata religi untuk ditawarkan. Pasalnya, potensi wisata religi di Jawa Tengah cukup baik seperti napak tilas jejak Walisongo”.
Menurut Ketua Asita Jateng, wisata religi sangat potensial khususnya untuk wisatawan domestik. Sebab, wisata regili tidak mengenal hari libur maupun bulan dan dipastikan selalu ramai oleh pengunjung. Ungkapnya: “Wisata religi di Jateng cukup menjanjikan. Tinggal bagaimana pengelolaannya saja diperbaiki, hingga dapat jadi opsi wisatawan ke Jateng selain wisata alam”.
Akselerasi DIY: Di sisi lain, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) saat ini bertekad mengembangkan tujuh kawasan wisata yang termuat dalam roadmap kebijakan strategis akselerasi pembangunan dan pengembangan kepariwisataan DIY tahun 2019-2020.
Konsep menginap atau live in akan lebih digenjot promosinya dengan tujuan meningkatkan perputaran uang di kawasan wisata, mengingat wisatawan yang hanya sekedar selfie untuk kemudian pulang tanpa menghasilkan perputaran ekonomi yang maksimal. Perencanaan ini dibahas di rapat koordinasi antar kabupaten/kota dan pelaku wisata di Kompleks Kepatihan.
Ketua Tim Penyiapan Kebijakan Perekonomian dan SDA Setda DIY Doni Dwi Yogya Handoko menjelaskan ada tujuh kawasan wisata di DIY yang akan menjadi prioritas pengembangan. Perencanaan itu termuat dalam roadmap kebijakan strategis akselerasi pembangunan dan pengembangan kepariwisataan DIY tahun 2019 – 2025. Tujuh kawasan itu meliputi: Kraton – Malioboro, Prambanan – Ratu Boko, Lereng Merapi, Karst Gunungsewu, Parangtritis – Depok – Kuwaru, Pegunungan Menoreh dan Kawasan Kasongan – Tembi – Wukirsari.
Adapun strategi pengembangan antara lain dengan advertising, branding, event berdasar pertimbangan kebutuhan dan segmentasi pasar. Selain itu, juga mengedepankan konten lokal dalam setiap promosi. Menurut Doni bidang aksesibilitas dan infrastruktur pendukung tujuh kawasan itu tiap tahun akan terus dikembangkan. Di kawasan Prambanan – Boko misalnya, target 2019-2020 mampu mewujudkan layanan moda transportasi antarcandi seperti becak kayuh, kereta khusus atau andong.
“Selanjutnya pada tahun 2020 – 2022 bidang aksesibitas di kawasan candi ini bisa terpasang spot wifi serta terintegrasi angkutan wisata kawasan candi dan penambahan rute shuttle transport” ungkapnya, Rabu lalu.
Pada 2019 DIY akan menargetkan pengunjung wisatawan mancanegara sebanyak 800.000 orang. Adapun tujuh destinasi yang akan dikembangkan menyasar lima pasar internasional, antara lain Belanda, Jepang, Perancis, Jerman dan Asean. Pungkasnya: “Suroloyo Kawasan Menoreh juga akan dikembangkan, karena wisatawan Eropa banyak yang berminat pada jenis wisata tracking. Pemberdayaan masyarakat kesenian di puncak Suroloyo yang saat ini dinilai masih terasa kurang, juga akan dikembangkan untuk menjadi sajian kultural bagi wisman”.***ERICK ARHADITA