Kemenperin : Indonesia Sedang Menghadapi Darurat Sampah Plastik Laut

Kapuslitbang IHLH Kemenperin Teddy C Sianturi saat memimpin forkom "Peran Sektor Industri dalam RAN Penanganan Sampah Laut" didampingi para pembicara lain dari instansi terkait
Kapuslitbang IHLH Kemenperin Teddy C Sianturi saat memimpin forkom “Peran Sektor Industri dalam RAN Penanganan Sampah Laut” didampingi para pembicara lain dari instansi terkait

Jakarta, Maritim

Sampah laut menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup serta ekosistem perairan. Sehingga membahayakan kesehatan manusia. Untuk itu, pemerintah berkomitmen menangani sampah plastik di laut sebesar 70% sampai dengan 2025.

Read More

Karena akibat pencemaran sampah plastik di laut telah ditemukan kandungan plastik berukuran mikro dan nano pada biota dan sumber daya laut di perairan Indonesia. Di mana, plastik merupakan komponen yang paling sulit diurai oleh proses alam. Sehingga berbahaya bagi ekosistem perairan dan kesehatan manusia.

Maka dari itu, pemerintah pada 17 September 2018 lalu menetapkan Perpres No 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Sebagai payung hukum dari RAN Penanganan Sampah Laut 2018-2025.

Sehubungan dengan itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri Hijau dan Lingkungan Hidup BPPI Kemenperin menggelar forkom “Peran Sektor Industri dalam RAN Penanganan Sampah Laut”, di ruang Rajawali, Kemenperin, Jakarta, Kamis (29/11).

Saat memberikan sambutan, Kepala BPPI Kemenperin, Ngakan Timur Antara, mengatakan Indonesia sedang menghadapi darurat sampah, terutama sampah plastik. Keberadaan sampah plastik terutama di wilayah pesisir dan laut menyebabkan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan serta membahayakan kesehatan manusia.

Hal ini akan berdampak pada daya saing pariwisata Indonesia yang sedang berusaha mempromosikan 10 daerah destinasi wisata. Dimana, Indonesia saat ini berada di posisi 42 berdasarkan Travel & Tourism Competitiveness Index 2017, di bawah negara Singapura, Malaysia dan Thailand.

Sementara di sisi lain, lanjut Ngakan, saat ini 40-50% kebutuhan plastik nasional dipenuhi dari impor. Pada 2017, Indonesia mengimpor produk/barang dari plastik sebesar US$2.595 juta, adapun nereca perdagangannya sebesar minus US$1.102 juta.

“Untuk itu, Kemenperin akan terus mendorong investasi di sektor manufaktur plastik, agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri secara mandiri,” ungkapnya.

Sedangkann Kapuslitbang IHLH Kemenperin, Teddy C Sianturi, saat ditanya wartawan menjelaskan pihaknya tetap berkomitmen seperti di RAN. Di sisi lain, pihaknya tetap terus mengajak sektor industri pembina lain, untuk bersama-sama mengimplementasikan RAN.

Sedangkan dari industri plastik yang mampu terurai, Teddy mengajak, dapat meningkatkan lagi produksinya. Terutama untuk menggantikan plastik-plastik konvensional.

“Memang masih ada kendala dalam jumlah, tapi kalau bisa dipakai dalam jumlah banyak, maka harga bisa ditekan. Sehingga bisa kompetitif,” urainya.

Menjawab soal pelarangann kantong kresek, Teddy menolak hal itu dilakukan, karena dapat kerugian industri plastik.

“Baiknya jangan ada pelarangan. Itu kurang bijak lah. Dibatasi saja pemakaiannya. Karena sampai sekarang yang dilarang itu saja belum jelas batasannya sampai mana. Ini yang jadi pangkal persoalan. Terus yang sudah punya SNI ekolabel gemana. Kasian kan. Padahal mereka sudah investasi,” papar Teddy.

Dia menambahkan, persoalan sampah plastik memang harus diawali dari budaya masyarakat, atau orangnya. Maka dari itu ke depan pihaknya akan mendekati Kemenristekdikti untuk melihat kurikulumnya dan kementerian serta dinas terkait lainnya agar tercapai sinergitas. (M Raya Tuah)

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *