SURABAYA – MARITIM : Munculnya wacana kolaborasi pelayaran nasional, dinilai oleh pakar kemaritiman sebagai opsi rasional untuk merespons faktor risiko, kebutuhan pasar, dan regulasi kewajiban penggunaan kapal milik perusahaan domestik untuk mengangkut beberapa komoditas tertentu. Kendati demikian, pelaksanaan kolaborasi tersebut tidak harus dalam bentuk aliansi.
Raja Oloan Saut Gurning pakar maritim dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya mengatakan pola kerja sama strategis entitas pelayaran (shipping strategic collaboration) bergantung kepada level kompleksitas rencana kolaborasi yang akan diterapkan.
Menurutnya, sejumlah opsi kerja sama, dapat diwujudkan mulai dalam bentuk slot charter, kerja sama terbatas (conference), aliansi, kerja sama operasi jasa/KSO (pool arrangement), konsorsia, serta merger dan akuisisi (MA).
Pemetaan Prioritas.
ALIApabila sifatnya terbatas, maka pola kolaborasi yang dapat dilakukan adalah dalam bentuk slot charter, conference, dan aliansi. Namun, jika pola integrasi ingin menjadikan kerja sama lebih dekat, maka pilihannya dapat dilakukan secara kontraktual ke arah KSO, konsorsia, atau MA. Ujar Gurning pekan lalu: “Apapun pilihannya , sebelum melakukan rencana aksi penentuan tipe-tipe kolaborasi, seyogianya INSA lebih baik mempetakan terlebih dahulu kebutuhan mendesak apa yang jadi prioritas”.
Pemetaan kebutuhan itu menyangkut apakah kolaborasi terbatas pada pemanfataan ruang kapal saja, atau juga akan merambah ke sisi pengembangan aset, SDM, dan proses bisnis. Selain itu, juga perlu dirancang lebih dahulu kepastian volume, proses bisnis, tingkat kinerja, level komersial, dan kepastian bisnis terkait rentang waktu kolaborasi –jangka pendek atau jangka panjang. Jika jangka pendek, maka kerja sama yang sesuai adalah pola kolaborasi terbatas. Opsi ini masih memiliki ruang kompetisi antarpartner dalam penyediaan jasa.
Namun, jika kolaborasi berorientasi pada periode jangka panjang yang perlu keseragaman mekanisme bisnis, aset, kompetensi SDM, dan proses bisnisnya, maka pilihan yang lebih rasional cenderung mengarah ke pola yang bersifat fusi (gabungan/closed), sebab opsi fusi cenderung tidak membutuhkan kompetisi. Jelasnya: “Secara umum, opsi kolaborasi untuk penguatan armada CPO nasional perlu mempertimbangkan bagaimana profil volume dan nilai kargo yang akan dikerjasamakan, jenis armada yang diperlukan termasuk gap antara kebutuhan dan ketersediaan eksisting dalam negeri, kompleksitas jasa yang seharusnya disediakan, legalitas kepemilikan aset hingga tentunya bermuara pada daya saing logistik CPO nasional dibanding dengan operator di luar negeri yang eksis”.
Sebelumnya, INSA “menantang” anggotanya untuk membentuk aliansi pelayaran nasional, mengikuti tren global yang mengarah pada kolaborasi antar-shipping line. Berdasar aliansi tersebut, diharapkan perusahaan pelayaran nasional go international dan mampu bersaing dengan pelayaran global lainnya, paling tidak di lingkup intra Asia pada tahap awal.
Selain mengekor tren global, aliansi shipping line domestik juga diperlukan menghadapi penerapan Peraturan Menteri Perdagangan No 82 Tahun 2017 yang mengatur kewajiban penggunaan kapal berbendera Indonesia untuk ekspor CPO dan batubara serta impor beras dan barang pengadaan pemerintah mulai 2020.
Dukungan Samudera Indonesia
Terkait dengan wacana seperti tersebut di atas, Perusahaan pelayaran ocean going PT Samudera Indonesia Tbk. menyambut positif ide membangun aliansi shipping line nasional untuk menggarap pasar kargo intra Asia. Bani M. Mulia, Direktur PT Samudera Indonesia mengatakan bahwa perusahaannya dan pemain logistik internasional lainnya sudah biasa melakukan kolaborasi, termasuk pada rute-rute intra Asia.
Menurut Bani, bentuk kerja sama itu berbeda-beda, bergantung pada kebutuhan perseroan dan shipping company yang menjadi partner. Sejauh ini, emiten berkode saham SMDR itu hanya bekerja sama dengan perusahaan pelayaran asing karena belum ada pemain lain di Indonesia yang ocean going.
Ungkap Bani lebih jauh: “Di Indonesia, mungkin bisa dijajaki, meskipun saya belum pernah lihat bagaimana model kerja samanya. Selama ini praktik kolaborasi yang biasa dilakukan di internasional adalah untuk liner shipping, seperti container line. Kalau untuk CPO dan batubara, saya belum pernah tahu modelnya bagaimana karena mostly pola operasinya bukan liner, lebih ke tramper, dan saya tidak tahu apakah model aliansi bisa diterapkan. Tetapi kembali ke prinsip, lebih baik kolaborasi daripada saling menjatuhkan. Jadi, saya setuju untuk dikaji dan dicoba.”
Mengutip Alphaliner, PT Samudera Indonesia Tbk saat ini mengoperasikan 33 unit kapal pengangkut petikemas dengan kapasitas total 33.148 TEUs per April 2019. Layanan yang disediakan perseroan mencakup Indonesia, menjangkau kota-kota kunci perekonomian antara lain Jakarta, Surabaya, Jambi, Semarang, Palembang, Pontianak, Pekanbaru, Panjang, Batam dan Belawan. Sedangkan pada level Asia, mencakup Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, Filipina, India, Srilanka, Pakistan, Bangladesh, Hong Kong, dan Tiongkok.
Selain itu, PT Ssamudera Indonesia Tbk terhitung mulai April 2018 yang lalu, dalam rangka memberi layanan angkutan bagi komoditas curah kering, curah cair, maupun penunjang kegiatan lepas pantai juga mengoperasikan 15 unit kapal tanker, kapal bulk, dan offshore carrier berkapasitas total 168.833 DWT. (Erick Arhadita)