LABOAN BAJO, MARITIM: Sebagai pembangkit daya tarik bagi turis nomad yang tidak pernah menetap lama di satu lokasi, Kementerian Pariwisata mendorong pembangunan fasilitas wisata seperti glam camp, home pod, dan caravan. Hal tersebut dinilai penting untuk mengiumbangoi gaya berwisata nomad atau nomadic tourism yang kini kian populer.
Salah satu lokasi yang tengah dibangun nomadic tourism yaitu destinasi super prioritas Labuan Bajo. Pembangunan nomadic tourism oleh Kementerian Pariwisata di Labuan Bajo ini bukan tanpa alasan. Masalkahnya, karakteristik wisatawan yang datang ke destinasi ini lebih memilij untuk bermalam di atas kapal pesiar atau pinisi, sebagai hal yang mereka nilai memiliki sensasi tersendiri. Selain itu, untuk membangun kawasan Labuan Bajo agar jadi seperti The Nusa Dua di Bali maupun Mandalika di Lombok diperlukan waktu 20-30 tahun.
Menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya, konsep nomadic tourism sebagai solusi sementara dalam pengembangan pariwisata. Terlebih, liveaboard yang telah berkembang 5—7 tahun terakhir di Labuan Bajo sebagai contoh dari nomadic tourism. Ujar Menpar: “Ini dapat jadi solusi amenitas dan juga akses bagi wisatawan nomadic. Dulu dikenal sebagai wisata minat khusus. Tetapi seiring perkembangan zaman, tren ini menjelma jadi wisata minat umum”.
Pengembangan nomadic tourism di Labuan Bajo akan dipercepat agar mendapat hasil yang lebih baik terutama dalam bidang amenitas, yang diperlukan dalam meningkatkan dan memudahkan wisatawan di Labuan Bajo. Sementara untuk atraksi di Labuan Bajo sudah tenar dengan Pulau Komodo dan tempat diving terbaik dunia. Konsep nomadic tourism ini memang tengah digencarkan oleh Kementerian Pariwisata sejak tahun 2018 lalu.
Ditargetkan pembangunan nomadic tourism di Labuan Bajo akan selesai tahun 2019 ini. Salah satu lokasi yang akan dikembangkan adalah Pulau Saloka. Terang Menpar: “Nomadic tourism ini memang untuk meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara yang ingin memperoleh pengalaman berbeda, seperti glamping dan sebagainya. Pengembangan lokasi
Nomadic tourism merupakan strategi untuk dapat menjangkau destinasi alam potensial di sejumlah kepulauan yang sulit dijangkau, seperti Labuan Bajo, Maluku, dan sekitarnya. Saat kian banyak pemain menawarkan sensasi island hopping dengan konsep liveaboard, hal yang menjadi kunci adalah inovasi pengembangan produk baru.
Condo Subagyo Pengelola homestay di Pulau Wingkol, katakan konsep nomadic tourism mulai dapat perhatian sejak 1995. Saat ini pihaknya tengah membangun 10 homestay yang dilakukan berdasar konsep ramah lingkungan bergaya Manggarai Barat. Kata Condo: “Kami buat sensasi berbeda sesuai dengan apa yang Pak Menteri lakukan dengan homestay. Di tempat saya ada camping dan kayaking“.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Utama Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores Shana Fatina menuturkan, nomadic tourism ini sangat menjanjikan untuk mendatangkan kunjungan wisman dan wisnus pada akhir tahun lalu mencapai 160.000 kunjungan di Labuan Bajo. Pada tahun ini,ditargetkan mencapai 200.000 kunjungan.
Tantangan dalam membangun nomadic tourism di Labuan Bajo utamanya ialah bagaimana memindahkan wisatawan dari yang mencoba liveaboard ke daratan yakni homestay hingga dibutuhkan atraksi yang mendukung di sekitar. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan untuk membangun konsep nomadic tourism ini diperlukan kehati-hatian agar tak merusak alam. Ujarnya: “Perlu ada pemetaan lokasi mana yang boleh dan mana yang tidak agar tidak merusak alam karena di Labuan Bajo kebanyakan cagar alam. Nomadic tourism ini tak terbatas pada kesiapan aksesibilitas maupun amenitas dari destinasi dan dibutuhkan promosi yang berkelanjutan”.
Sementara itu, Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azahari menuturkan konsep nomadic tourism yang menyatu dengan alam dan kultur Indonesia ini sangat cocok.
Namun, tak semuanya destinasi wisata bisa dilakukan menjadi nomadic tourism sehingga perlu pemetaan wilayah wisata. Selain itu, dalam pengembangan destinasi wisata ini diperlukan pelibatan masyarakat lokal. Tuturnya: “Nomadic tourism ini harus melibatkan masyarakat sekitar, agar tetap kental dengan budaya lokal”.***ADIT/Dps/Maritim